Rabu, 02 November 2011

Ciri-Ciri Bangkitnya Kundalini

Ciri-ciri seorang yg telah bangkit Tenaga Kundalininya(Tenaga Siva/Brahman)

I.  Delapan kekuatan batin besar

Svami Sivananda menguraikan bahwa seorang yogi sempurna dalam kundalini yoga mempunyai delapan kekuatan batin besar seperti yg diuraikan dalam kitab Yoga Sutra, yaitu:
  1. Anima : Sang yogi dapat menjadi sekecil mungkin dengan mengecilkan tubuhnya
  2. Mahima : Ia dapat membesarkan tubuhnya sebesar mungkin yg ia inginkan.
  3. Laghima : Ia dapat membuat tubuhnya menjadi amat ringan, sehingga ia bahkan dapat berjalan di udara.
  4. Garima: Ia dapat membuat tubuhnya menjadi amat berat, bahkan seberat gunung
  5. Prapti : Ia bisa mencapai apapun yang ia inginkan. Ia memiliki mata batin (Clairvoyance) dan telinga batin ( Claraiudience), mengirim dan menerima pikiran ked an dari orang lain, ia dapat membaca pikiran makhluk lain.
  6. Prakãmya : Ia dapat hidup didalam air dan tinggal di dalam air selama yg ia inginkan. Yogi Trilanga Svami dari Benares pernah masuk ke dalam sungai gangga untuk jangka waktu 6 bulan. Kemampuan ini termasuk juga kesaktian Para Kaya Pravesa yaitu kesaktian untuk masuk ke dalam tubuh orang lain. Sri Sankara pernah masuk ke dalam badan Raja Amara dari Benares. Tirumulardari India Selatan masuk ke dalam badan seorang gembala. Termasuk di dalam kesaktian ini adalah kemampuan untuk menjaga tubuh untuk selalu tetap awet muda dan panjang umur. Seorang Yogi bernama Herakhan Bãbã telah berumur lebih dari seribu tahun hingga saat ini, mempunyai misi khusus yaitu untuk mengajarkan umat manusia Kriya yoga.
  7. Vasitvam: Ini adalah kemampuan untuk menaklukkan nafsu dan perasaan. Ini juga kemampuan untuk mengontrol semua elemen alam semesta.
  8. Ishatvam : Ini adalah tercapainya kekuatan suci. Sang yogi dapat menghidupkan orang mati. Herakham Bãbã, Kabir, Tulsidas, Alkalkot Svami dan beberapa yogi di India lainnya memiliki kekuatan ini dan pernah menghidupkan orang mati .
II Kekuatan Batin Kecil.

Seorang yogi yg sempurna juga mencapai kekuatan batin kecil sebagai berikut:
  1. Bebas dari lapar dan haus
  2. Bebas dari pengaruh panas dan dingin.
  3. Mengatasi rasa suka dan tidak suka
  4. Dapat melihat dengan mata batin.
  5. Mengatasi pikiran.
  6. Sang yogi dapat mengambil wujud apapun yg ia inginkan
  7. Ia dapat masuk ke badan orang lain, dapat menghidupkan badan yg sudah mati, lalu dapat memasuki badan itu dengan sukmanya.
  8. Dapat memperoleh apapun yg ia inginkan.
  9. Dapat mengetahui masa lalu, masa kini, dan masa yg akan datang.
  10. Ia mati atas kehendaknya sendiri
  11. Ia dapat berpindah ke segala tempat  yang ia suka.
  12. Ia dapat mengangkat dirinya ke angkasa
  13. Dan berbagai kekuatan batin lainnya.
Mengenai kekuatan-kekuatan gaib itu, Buddha Gautama mengatakan bahwa beberapa kekuatan gaib itu amat penting gunanya dalam upaya untuk menyelidiki kebenaran-kebenaran yg tersembunyi, misalnya benarkah ada kehidupan setelah mati? Benarkah ada reinkarnasi? Bagaimana hukum karma bekerja? Dan lain lain.

Kekuatan-kekuatan yg dimaksud oleh Buddha itu diantaranya:
  1. Psikokinesis(Iddhividha) yg bukan merupakan pengetahuan melainkan kekuatan. Ia terdiri dari berbagai perwujudan dari “ kekuatan tekad “ (Adhithanaiddhi)
  2. Telingabathin(Dibbasota), Indriya yg menangkap bunyi-bunyian dari jarak jauh, bahkan lebih jauh dari jangkauan indriya pendengaran biasa. Perluasan perpepsi pendengaran baik jarak maupun dalam kedalaman, membuat seseorang mampu untuk menangkap secara langsung fenomena berkolerasi tertentu yg biasanya hanya dapat disimpulkan.
  3. Telepati (Cetopariyaňãna), yang membuat seseorang mampu  memahami keadaan umum maupun bekerjanya pikiran orang lain.
  4. Retrokognisi(Pubbenivãsãnusstiňãna), kemampuan untuk menangkap sejarah kehidupan masa lampau dirinya. Ia bergantung pada memori(Sati), dan memori dari kehidupan masa lampau ini diperoleh melalui kegiatan konsentrasi yg intensif(Samãdhi), seperti halnya pengembangan indriya-indriya lainnya.
  5. Mata Batin(Dibbacakkhu), pengetahuan tentang kematian dan kehidupan mahluk-mahluk yg berkelana dalam lingkaran kehidupan mengikuti kelakuannya(karma). Kemampuan ini, bersama-sama dengan retrokognisi, membuat seseorang mampu memeriksa fenomena kelahiran kembali(Reinkarnasi)
  6. Pengetahuan tentang penghancuran rangsangan-rangsangan kotor(Āsavakkhayaňãna) yg bersama-sama ke-empat kemampuan terakhir disebut diatasm melengkapi seseorang dengan pengertian yg mendalam tentang kebenaran mulia.

Kitab Weda

Cara Memahami Veda dan Menghitung Jumlah Veda

Posting by : Bawa Chakep Mahadewa
Oleh: Mertamupu Andika Putra



Cemohan yang paling banyak kita dengan sebagai penganut Hindu diluar tuduhan filosofis adalah bahwasanya umat Hindu sangat jarang memiliki kitab sucinya sendiri, Veda. Sangat berbeda dengan saudara-saudara kita yang Muslim dan Kristen yang dapat selalu menenteng kitab suci kemanapun mereka pergi. Selalu dapat membuka kitab suci dalam setiap diskusi, ceramah dan ibadah mereka. Hal yang tidak bisa dilakukan oleh umat Hindu, bahkan mungkin tidak akan pernah. 


Kenapa tidak bisa demikian? Karena Veda tidak sesempit kitab suci mereka. Jika kitab suci mereka hanya terdiri dari ribuan ayat, sehingga dapat dituliskan dalam sebuah buku, maka tidak demikian dengan Veda yang terdiri dari jutaan sloka. Untuk membayangkan betapa luasnya Veda, mungkin anda dapat melihat lampiran pembagian Veda pada bagian akhir artikel ini dan juga dapat mendownload poster Veda disini.
Melihat Veda yang sangat luas seperti itu? Apa yang harus dilakukan sebagai umat Hindu? Apakah hanya dapat bangga dengan kitab sucinya yang sangat-sangat komplit tanpa pernah membacanya, bahkan tanpa pernah melihat secuil bagiannyapun?
Untuk mempelajari seluruh kitab suci Veda tentunya bukanlah perkara mudah. Umur manusia pada jaman kali ini sangat terbatas, rata-rata hanya di bawah 80 tahun. Dan itupun belum dipotong oleh tuntutan kesibukan material yang notabena harus dilakukan lebih dari 16 jam per hari. Lalu, berapa jam dalam hidup kita yang dapat kita manfaatkan secara efektif dalam mempelajari Veda? Yakinkah anda dapat membaca dan mengerti seluruh Veda dengan waktu yang singkat, ingatan yang terbatas dan berbagai macam ketidaksempurnaan itu?
Menurut Veda, kehidupan sebagai manusia tidak sempurna karena: Indriya-indriya jasmani terbatas dan tidak sempurna dan cendrung mengkhayal, menipu dan berbuat salah. Untuk mengerti Veda yang spiritual dan transendental secara lengkap, tidak dapat dilakukan secara pratyaksa (pengamatan dan penglihatan langsung) dan anumana (menyimpulkan berdasar tanda dan bukti-bukti empiris).
Veda menetapkan bahwa ia hanya bisa dipelajari dan dimengerti secara sabda-pramana, mendengar dari sumber yang benar dan sah yaitu dari para Acarya (guru kerohanian) secara param para ( proses menurun/deduktip) dalam garis perguruan (sampradaya) sah dan jelas sebagaimana ditegaskan dalam Bhagavad Gita 4.2; “evaà paramparä-präptam imaà räjarñayo viduù sa käleneha mahatä yogo nañöaù parantapa” dan Bhagavad Gita 4.32; “evaà bahu-vidhä yajïä vitatä brahmaëo mukhe karma-jän viddhi tän sarvän evaà jïätvä vimokñyase”. Karena itu, Veda disebut sruti, pengetahuan yang diperoleh dari mendengar; dan smrti, pengetahuan yang diingat dari cara mendengar.
Tetapi proses sabda-pramana ini disalah mengerti oleh para sarjana duniawi berwatak materialistik yang berpegang teguh pada proses empiris-induktip. Mereka berkata bahwa proses sabda ini mengharuskan orang percaya secara membuta, patuh dan tunduk pada dogma, berpegang pada keyakinan tanpa dasar atau khayalan.
Menurut mereka, proses sabda tidak bisa dipercaya karena tidak ilmiah yaitu tidak didukung bukti-bukti empiris yang dapat dilihat.
Sesungguhnya proses sabda ini adalah sederhana yaitu mendengar dari sumber (orang) yang mengetahui seperti sering dilakukan oleh setiap orang dalam kehidupan sehari-hari. Ini bukan dogma, kepercayaan atau keyakinan buta dan bukan pula khayalan. Contoh, bila seseorang ingin mengetahui dengan mudah dan pasti siapa ayahnya, maka dia harus bertanya kepada si ibu. Bandingkan jika si anak harus mengetahuinya dengan cara tes DNA, berapa biaya dan waktu yang harus dikeluarkan?
Kita juga tidak dapat menganggap bahwa Veda yang digolongkan sebagai Veda Sruti lebih tinggi kedudukannya dari Veda-Veda yang digolongkan kedalam Veda Smrti. Keseluruh Veda merupakan satu kesatuan yang utuh.
Dengan pernyataan bahwa Veda Smrti merupakan penjelasan dan ingatan dari Veda Sruti, bukan berarti Veda Smrti tidak disabdakan. Bhagavad Gita yang digolongkan sebagai Veda Smrti disabdakan langsung oleh Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa, Sri Krishna dan ditulis langsung oleh Tuhan sebagai Shaktyawesa Awatara, yaitu Maha Rsi Vyasadeva. Sri Swami Sivananda menjelaskan bahwa sampai saat ini Maha Rsi Vyasa masih ada di dunia ini.
brhad-aranyaka upanisad 2.4.10 mengatakan; “rg, yajur, sama dan atharva veda dan itihasa semuanya keluar (berasal) dari nafas kebenaran mutlak, Tuhan Yang Maha Esa. Dan lebih lanjut Bhagavad Gita 3.15 menegaskan; “brahmaksara-samudbhavam”, pengetahuan veda langsung di wejangkan oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Disinilah uniknya Veda. Veda yang diwahyukan paling awal, bersifat anadi ananta, kekal abadi, diwahyukan pada banyak Rsi dan bahkan ditulis oleh penjelmaan Tuhan sendiri serta selalu dijaga dan diwahyukan kembali dari jaman ke jaman oleh Avatara Tuhan. Tidak ada satu kitab sucipun selain Veda yang memiliki keunikan seperti ini.
PEMBAGIAN KITAB SUCI VEDA
Rig Veda
Sama Veda
Yajur Veda
Atharva Veda
Bhagavad Gita
Shiksha 
Shamana Shiksha
Vyali Shiksha
Svaravyanjana Shiksha
Shaishiriya Shiksha
Vyasa Shiksha
Charayaniya Shiksha
Atreya Shiksha
Vasishtha Shiksha
Paniniya Shiksha
Lakshmikanta Shiksha
Parashari Shiksha
Padyatmika Keshavi Shiksha
Shaishiriya Shiksha
Katyayani Shiksha
Varnaratnapradipika Shiksha
Madhyandina Shikisha
Mandavya Shiksha
Vasishthi Shiksha
Yagyavalkya Shiksha
Mallasharma Shiksha
Amoghanandini Shiksha
Avasananirnaya Shiksha
Siddhanta Shiksha
Apishali Shiksha
Sarvasammata Shiksha
Aranya Shiksha
Shambhu Shiksha
Kalanirnaya Shiksha
Bharadvaja Shiksha
Kauhaliya Shiksha
Pari Shiksha
Shodashashloki Shiksha
Manduki Shiksha
Naradiya Shiksha
Gautami Shiksha
Lomashi Shiksha
Kaundinya Shiksha
Atharvavediya Dantyoshthavidhi
Padachandrika
Kalpa 
Grihya sUtra 
Apastamba Grihya Sutra
Vaikhanasa Grihya Sutram
Bharadvaja Grihya Sutra
Ashvalayana Grihya Sutra
Drahyayana
Kaushitaka Grihya Sutra
Kauthuma Grihya Sutra
Manava Grihya Sutra
Paraskara Grihya Sutra
Varaha Grihya Sutra
Hiranyakeshi Grihya Sutra
Kathaka Grihya Sutra (Laugakshi)
Gobhila Grihya Sutra
Jaimini Grihya Sutram
Shankhayana Grihya Sutra
Kaushika Sutram
Bodhayana Grihya Sutram
Agniveshya Grihya Sutram
Grihya Sutram
Shrauta Sutra 
Apastamba Shrauta Sutra
Shankhayana Shrauta Sutra
Vaitana Shrauta Sutra
Mashaka Shrauta Sutra
Vadhula Shrauta Sutra
Manava Shrauta Sutra
Bharadvaja Shrauta Sutra
Drahyayana Shrauta Sutra
Latyayana Shrauta Sutra
Varaha Shrauta Sutra
Katyayana Shrauta Sutra
Kathaka Shrauta Sutra
Ashvalayana Shrauta Sutra
Jaiminiya Shrauta Sutra
Nidana Shrauta Sutra
Baudhayana Shrauta Sutra
Vaikahanasa Shrauta Sutra
Hiranyakeshi Shrauta Sutra
Shulba Sutra 
Apastamba Shulba Sutra
Baudhayana Shulba Sutra
Katyayana Shulba Sutra
Manava Shulba Sutra
Hiranyakeshi Shulba Sutra
Kathaka Shulba Sutra
Varaha Shulba Sutra
Vadhula Shulba Sutra
Dharma Sutra 
Apastamba Dharma Sutra
Baudhayana Dharma Sutra
Gautama Dharma Sutra
Vaikanasa Dharma Sutra
Vishnu Dharma Sutra
Vasishtha Dharma Sutra
Hiranyakeshi Dharma Sutra
Vyakaran 
Ashtadhyayi dari Maharshi Panini
Jyotish 
Brihat Parashara Hora Shastra
Muhurtachintamani
Surya Siddhanta
Shatpanchahika
Chhanda 
Pingala Chhandahsutra
Nirukti
Enam Darshanam (Nyaya, Vaisheshika, Sankhya, Yoga, Karma mimansa, Vedanta) 
Nyaya darshanam
Vaisheshika darshanam
Samkhya darshanam
Yoga darshanam 
Bhagavd gita
Shiva Sutra
Shiva samhita
Vijnana bhairava
Karma Mimansa darshanam
Vedanta darshanam
Gandharva Veda 
Sangita Ratnakara dari Sharangdeva
Dhanur Veda 
Vasishtha Dhanurveda
Shiva dhanurveda dari Maharshi Sharngadhara
Niti prakashika dari Maharshi Vaishampayana
Sthapatya Veda 
Mayamatam
Manasara
Vishvakarma Vastu Shastra
Manushyalaya Chandrika
Asumadheda Vastu Shastra
Mula Agamas 
Kamikagama
Karanagama
Ajitagama
Diptagama
Sukshmagama
Svayambhuvagama
Rauravagama
Makutagama
Chandrajnanagama
Parameshvaragama
Kiranagama
Amshumadbheda Vastu Shastra
Viragama
Dan masih banyak lagi
Kashyap Samhita 
Sutrasthanam
Vimanasthanam
Sharirasthanam
Indriyasthanam
Chikitassthanam
Siddhisthanam
Kalpasthanam
Khilasthanam
Bhela Samhita 
Kalpasthanam
Chikitsasthanam
Indriyasthanam
Sharirasthanam
Vimanasthanam
Nidanasthanam
Sutrasthanam
Siddhisthanam
Harita Samhita 
Prathamasthanam
Dvitiyasthanam
Chikitsasthanam
Sutrasthanam
Kalpasthanam
Sharirasthanam
Charak Samhita 
Vimanasthanam
Sharirasthanam
Chikitsasthanam
Indriyasthanam
Nidanasthanam
Siddhisthanam
Sutrasthanam
Chikitsasthanam
Kalpasthanam
Sushruta Samhita 
Nidanasthanam
Sutrasthanam
Sharirasthanam
Chikitsasthanam
Kalpasthanam
Uttarasthanam
Vagbhatta Samhita 
Sutrasthanam
Nidanasthanam
Sharirasthanam
Chikitsasthanam
Kalpasthanam
Uttarasthanam
Bhava Prakash Samhita 
Madhya Khandam
Uttara Khandam
Purva Khandam
Bhava Prakash Nigantu
Sharngadhara Samhita 
Prathama Khanda
Madhyama Khanda
Uttara Khanda
Parishishtam Khanda
Madhava Nidan Samhita
Upanishad 
Isha Upanishad, (Śiv, Mukhya)
Kena (SV, Mukhya)
Katha (KYV, Mukhya)
Praśna, (AV, Mukhya)
Muṇḍaka (AV, Mukhya)
Māṇḍūkya (AV, Mukhya)
Taittirīya (KYV, Mukhya)
Aitareya, (ṚV Mukhya)
Chāndogya (SV, Mukhya)
Bṛhadāraṇyaka (ŚYV, Mukhya)
Brahma (KYV, Sannyasa)
Kaivalya (KYV, Shaiva)
Jābāla (ŚYV, Sannyasa)
Śvetāśvatara (KYV, Sannyasa)
Haṃsa (ŚYV, Yoga)
Āruṇeya (SV, Sannyasa)
Garbha (KYV, Sannyasa)
Nārāyaṇa (KYV, Vaishnava)
Paramahaṃsa (ŚYV, Sannyasa)
Amṛtabindu (KYV, Yoga)
Amṛtanāda (KYV, Yoga)
Śira (AV, Shaiva)
Atharvaśikha (AV, Shaiva)
Maitrāyaṇi (SV, Sannyasa)
Kauśītāki (ṚV, Samanya)
Bṛhajjābāla (AV, Shaiva)
Nṛsiṃhatāpanī (AV, Vaishnava)
Kālāgnirudra (KYV, Shaiva)
Maitreyi (SV, Sannyasa)
Subāla (ŚYV, Samanya)
Kṣurika (KYV, Yoga)
Mantrika (ŚYV, Samanya)
Sarvasāra (KYV, Samanya)
Nirālamba (ŚYV, Samanya)
Śukarahasya (KYV, Samanya)
Vajrasūchi (SV, Samanya)
Tejobindu (KYV, Sannyasa)
Nādabindu (ṚV, Yoga)
Dhyānabindu (KYV, Yoga)
Brahmavidyā (KYV, Yoga)
Yogatattva (KYV, Yoga)
Ātmabodha (ṚV, Samanya)
Parivrāt (Nāradaparivrājaka) (AV, Sannyasa)
Triśikhi (ŚYV, Yoga)
Sītā (AV, Shakta)
Yogachūḍāmaṇi (SV, Yoga)
Nirvāṇa (ṚV, Sannyasa)
Maṇḍalabrāhmaṇa (ŚYV, Yoga)
Dakṣiṇāmūrti (KYV, Shaiva)
Śarabha (AV, Shaiva)
Skanda (Tripāḍvibhūṭi) (KYV, Samanya)
Mahānārāyaṇa (AV, Vaishnava)
Advayatāraka (ŚYV, Sannyasa)
Rāmarahasya (AV, Vaishnava)
Rāmatāpaṇi (AV, Vaishnava)
Vāsudeva (SV, Vaishnava)
Mudgala (ṚV, Samanya)
Śāṇḍilya (AV, Yoga)
Paiṅgala (ŚYV, Samanya)
Bhikṣu (ŚYV, Sannyasa)
Mahad (SV, Samanya)
Śārīraka (KYV, Samanya)
Yogaśikhā (KYV Yoga)
Turīyātīta (ŚYV, Sannyasa)
Sannyāsa (SV, Sannyasa)
Paramahaṃsaparivrājaka (AV, Sannyasa)
Akṣamālika (Mālika) (ṚV, Shaiva)
Avyakta (SV, Vaishnava)
Ekākṣara (KYV, Samanya)
Annapūrṇa (AV, Shakta)
Sūrya (AV, Samanya)
Akṣi (KYV, Samanya)
Adhyātmā (ŚYV, Samanya)
Kuṇḍika (SV, Sannyasa)
Sāvitrī (SV, Samanya)
Ātmā (AV, Samanya)
Pāśupata (AV, Yoga)
Parabrahma (AV, Sannyasa)
Avadhūta (KYV, Sannyasa)
Devī (AV, Shakta)
Tripurātapani (AV, Shakta)
Tripura (ṚV, Shakta)
Kaṭharudra (KYV, Sannyasa)
Bhāvana (AV, Shakta)
Rudrahṛdaya (KYV, Shaiva)
Yogakuṇḍalini (KYV, Yoga)
Bhasma (AV, Shaiva)
Rudrākṣa (SV, Shaiva)
Gaṇapati (AV, Shaiva)
Darśana (SV, Yoga)
Tārasāra (ŚYV, Vaishnava)
Mahāvākya (AV, Yoga)
Pañcabrahma (KYV, Shaiva)
Prāṇāgnihotra (KYV, Samanya)
Gopālatāpani (AV, Vaishnava)
Kṛṣṇa (AV, Vaishnava)
Yājñavalkya (ŚYV, Sannyasa)
Varāha (KYV, Sannyasa)
Śāṭyāyani (ŚYV, Sannyasa)
Hayagrīva (AV, Vaishnava)
Dattātreya (AV, Vaishnava)
Gāruḍa (AV, Vaishnava)
Kali-Saṇṭāraṇa (Kali) (KYV, Vaishnava)
Jābāla (SV, Shaiva)
Saubhāgya (ṚV, Shakta)
Sarasvatīrahasya (KYV, Shakta)
Bahvṛca (ṚV, Shakta)
Muktika (ŚYV, Samanya)
Aranyak 
Aitareya Aranyaka
Kaushitaki Aranyaka
Taittiriya Aranyaka
Katha Aranyaka
Maitrayaniya Aranyaka
Talavakara Aranyaka
Shankhayana Aranyaka
Aranyaka Samhita
Charaka Aranyaka
Brihad-Aranyaka
Kathaka Aranyaka
Brahmana
· 
Rigveda 
Shakala shakha: Aitareya Brahmana (AB)
Bashkala shakha: Kaushitaki Brahmana (KS)
Tandya Brahmana
· 
Samaveda 
Kauthuma: PB, SadvB
Jayminiya: Jayminiya Brahmana (JB)
Tandyamaha or Pancavimsa Brahmana
Sadvimsa Brahmana
Samavidhana Brahmana
Arseya Brahmana
Devatadhyaya or Daivata Brahmana
Mantra or Chandogya Brahmana
Samhitopanisad Brahmana
Vamsa Brahmana
Jayminiya Arseya Brahmana
Jayminiya Upanisad Brahmana
Yajurveda
Kathaka Brahmana
Krishna: kitab Brahmana-nya terintegrasi kedalam samhitas: 
Maitrayani (MS)
Carakakatha (CS)
Kapisthalakatha (KS)
Taittiriya (TS). Pendidikan Taittiriya memiliki Taittiriya Brahmana (TB) tambahan
Shukla 
Vajasaneyi Madhyandina: Shatapatha Brahmana, Madhyadina recension (ShB)
Kanva: Shatapatha Brahmana, Kanva recension (ShBK)
Atharvaveda
Paippalada: Gopatha Brahmana
Smriti 
Smriti 
Angirasa Smriti
Vyasa Smriti
Apastamba Smriti
Daksha Smriti
Vishnu Smriti
Yagyavalkya Smriti
Likhita Smriti
Shankha Smriti
Brihaspati Smriti
Atri Smriti
Katyayana Smriti
Parashara Smriti
Manu Smriti
Aushanasa_Smriti
Harita Smriti
Gautama Smriti
Yama Smriti
Samvartta Smriti
Upasmriti 
Kashyapa Smriti
PulastyaSmriti
Vishvamitra Smriti
Devala Smriti
Markandeya Smriti
Ashvalayana Smriti
Narayana Smriti
Bharadvaja Smriti
Vyaghrapada Smriti
Dalbhya Smriti
Prajapati Smriti
Shatatapa Smriti
Baudhayana Smriti
Lohita Smriti
Rishyashringa Smriti
MahaPurana 
Agni (15,400 sloka)
Bhagavata (18,000 sloka). Merupakan purana terpopuler karena di tulis langsung oleh Maha Rsi Vyasa, sang pengkodifikasi Veda. 
Bhavishya (14,500 sloka)
Brahma (24,000 sloka)
Brahmanda (12,000 sloka; termasuk Lalita Sahasranamam, kitab panduan dalam pemujaan)
Brahmavaivarta (18,000 sloka)
Garuda (19,000 sloka)
Harivamsa (16,000 sloka; sering kali digolongkan kedalam itihāsa)
Kurma (17,000 sloka)
Linga (11,000 sloka)
Markandeya (9,000 sloka; terdiri dari Devi Mahatmyam, teks yang sangat penting untuk Shakta)
Matsya (14,000 sloka)
Narada (25,000 sloka)
Padma (55,000 sloka)
Shiva (24,000 sloka)
Skanda (81,100 sloka), merupakan yang terpanjang dari semuanya, terdiri dari cerita perumpamaan, legenda dan sejarah.
Vamana (10,000 sloka)
Varaha (10,000 sloka)
Vayu (24,000 sloka)
Vishnu (23,000 sloka)
UpaPurana 
Bhargava,
Brihan-Narada
Devi Bhagavata Purana
Durvasa
Ganesa,
Hamsa.
Kalika/kalki Purana
Kapila Purana
Manu
Marichi
Mudgala,
Nandi Purana
Narasimhia Purana
Nilamata Purana
Parashara Purana
Samba Purana
Sanat-kumara,
Saura Purana
Shivadharma
Siva-rahasya,
Surya,
Usanas
Vamana,
Varuna,
Mahesvara Vashishtha Lainga
Vishnudharma
Devata Stotra 
Stotra untuk Panca Mahadevata 
Vishnu: Achyutashtakam
Shiva : Lingashtakam
Ganapati: Sankashtanashana Ganapati Stotram
Surya: Surya Mandala Ashtakam
Devi: Lakshmi Ashtakam
Sahasranama Stotra untuk Panca Mahadevata 
Vishnu Sahasranama
Shiva Sahasranama
Ganapati Sahasranama
Surya Sahasranama
Lakshmi Sahasranama
Stotras tambahan 
Vishnu Ashtottara Shatnamavali
Rama Sahasranama
Guru Gita
Durga Saptashati
Ganga Sahasranama
Ganga Ashtak Stotram
Gayatri Sahasranama
Gayatri Ashtakam
Lalita Sahasranama
Sarasvati Sahasranama
Sarasvati Ashtakam
Durga Sahasranama
Durgashtakam
Hanumat Stavan
Achyutashtakam
Lingashtakam
Maha Lakshmi Ashtakam
Vishnu Sahasranama
Sankashtanashana Ganapati Stotram
Shiva Sahasranama
Mahaganapati Sahasranama Stotram
Surya Sahasranama
Shri Mahalakshmi Sahasranama Stotram
Vishnu Ashtottara Shatanamavali Stotram
Surya Mandala Ashtakam
Itihas 
Ramayana (Valmiki)
Mahabharata
Rk Veda Pratishakhya
Shukl-Yajur-Veda Pratishakhya
Atharva Veda Pratishakhya
Sama Veda Pratishakhya (Pushpa Sutram)
Krishna-Yajur-Veda Pratishakhya (Taittiriya)
Atharva Veda Pratishakhya (Chaturadhyayi).




    Sejarah Galungan

    Sejarah dan Makna Hari Raya Galungan
    Sehubungan dengan jatuhnya Hari Raya Galungan pada hari ini di Bali, maka akan membahas sedikit sejarah mengenai Hari Raya Galungan. Semoga dengan ini mereka yang merayakan semakin mendalami makna yang sebenarnya dari Hari Raya Galungan.
    Kata “Galungan” berasal dari bahasa Jawa Kuna yang artinya menang atau bertarung. Galungan juga sama artinya dengan Dungulan, yang juga berarti menang. Karena itu di Jawa, wuku yang kesebelas disebut Wuku Galungan, sedangkan di Bali wuku yang kesebelas itu disebut Wuku Dungulan. Namanya berbeda, tapi artinya sama saja. Seperti halnya di Jawa dalam rincian pancawara ada sebutan Legi sementara di Bali disebut Umanis, yang artinya sama: manis.
    Agak sulit untuk memastikan bagaimana asal-usul Hari Raya Galungan ini. Kapan sebenarnya Galungan dirayakan pertamakali di Indonesia, terutama di Jawa dan di daerah lain khususnya di Bali.
    Drs. I Gusti Agung Gede Putra (mantan Dirjen Bimas Hindu dan Buddha Departemen Agama RI) memperkirakan, Galungan telah lama dirayakan umat Hindu di Indonesia sebelum hari raya itu populer dirayakan di Pulau Bali. Dugaan ini didasarkan pada lontar berbahasa Jawa Kuna yang bernama Kidung Panji Amalat Rasmi.
    Tetapi, kapan tepatnya Galungan itu dirayakan di luar Bali dan apakah namanya juga sama Galungan, masih belum terjawab dengan pasti. Namun di Bali, ada sumber yang memberikan titik terang. Menurut lontar Purana Bali Dwipa, Galungan pertama kali dirayakan pada hari Purnama Kapat, Budha Kliwon Dungulan, tahun Saka 804 atau tahun 882 Masehi. Dalam lontar itu disebutkan:
    Punang aci Galungan ika ngawit, Bu, Ka, Dungulan sasih kacatur, tanggal 15, isaka 804. Bangun indria Buwana ikang Bali rajya.
    Artinya:
    Perayaan (upacara) Hari Raya Galungan itu pertama-tama adalah pada hari Rabu Kliwon, (Wuku) Dungulan sasih kapat tanggal 15, tahun 804 Saka. Keadaan Pulau Bali bagaikan Indra Loka.
    Sejak itu Galungan terus dirayakan oleh umat Hindu di Bali secara meriah. Setelah Galungan ini dirayakan kurang lebih selama tiga abad, tiba-tiba — entah apa dasar pertimbangannya — pada tahun 1103 Saka perayaan hari raya itu dihentikan. Itu terjadi ketika Raja Sri Ekajaya memegang tampuk pemerintahan. Galungan juga belum dirayakan ketika tampuk pemerintahan dipegang Raja Sri Dhanadi. Selama Galungan tidak dirayakan, konon musibah datang tak henti-henti. Umur para pejabat kerajaan konon menjadi relatif pendek.
    Ketika Sri Dhanadi mangkat dan digantikan Raja Sri Jayakasunu pada tahun 1126 Saka, barulah Galungan dirayakan kembali, setelah sempat terlupakan kurang lebih selama 23 tahun. Keterangan ini bisa dilihat pada lontar Sri Jayakasunu.
    Dalam lontar tersebut diceritakan bahwa Raja Sri Jayakasunu merasa heran mengapa raja dan pejabat-pejabat raja sebelumnya selalu berumur pendek. Untuk mengetahui penyebabnya, Raja Sri Jayakasunu mengadakan tapa brata dan samadhi di Bali yang terkenal dengan istilah Dewa Sraya — artinya mendekatkan diri pada Dewa. Dewa Sraya itu dilakukan di Pura Dalem Puri, tak jauh dari Pura Besakih.
    Karena kesungguhannya melakukan tapa brata, Raja Sri Jayakasunu mendapatkan pawisik atau “bisikan religius” dari Dewi Durgha, sakti dari Dewa Siwa. Dalam pawisik itu Dewi Durgha menjelaskan kepada raja bahwa leluhurnya selalu berumur pendek karena tidak lagi merayakan Galungan.
    Karena itu Dewi Durgha meminta kepada Raja Sri Jayakasunu supaya kembali merayakan Galungan setiap Rabu Kliwon Dungulan sesuai dengan tradisi yang pernah berlaku. Di samping itu disarankan pula supaya seluruh umat Hindu memasang penjor pada hari Penampahan Galungan (sehari sebelum Galungan).
    Disebutkan pula, inti pokok perayaan hari Penampahan Galungan adalah melaksanakan byakala yaitu upacara yang bertujuan untuk melepaskan kekuatan negatif (Buta Kala) dari diri manusia dan lingkungannya. Semenjak Raja Sri Jayakasunu mendapatkan bisikan religius itu, Galungan dirayakan lagi dengan hikmat dan meriah oleh umat Hindu di Bali.


    Makna Filosofis Galungan
    Galungan adalah suatu upacara sakral yang memberikan kekuatan spiritual agar mampu membedakan mana dorongan hidup yang berasal dari adharma dan mana dari budhi atma yaitu berupa suara kebenaran (dharma) dalam diri manusia.
    Selain itu juga memberi kemampuan untuk membeda-bedakan kecendrungan keraksasaan (asura sampad) dan kecendrungan kedewaan (dewa sampad). Harus disadari bahwa hidup yang berbahagia atau ananda adalah hidup yang memiliki kemampuan untuk menguasai kecenderungan keraksasaan.
    Galungan adalah juga salah satu upacara agama Hindu untuk mengingatkan manusia secara ritual dan spiritual agar selalu memenangkan Dewi Sampad untuk menegakkan dharma melawan adharma. Dalam lontar Sunarigama, Galungan dan rincian upacaranya dijelaskan dengan mendetail. Mengenai makna Galungan dalam lontar Sunarigama dijelaskan sebagai berikut:
    Budha Kliwon Dungulan Ngaran Galungan patitis ikang janyana samadhi, galang apadang maryakena sarwa byapaning idep
    Artinya:
    Rabu Kliwon Dungulan namanya Galungan, arahkan ber-satunya rohani supaya mendapatkan pandangan yang terang untuk melenyapkan segala kekacauan pikiran. Jadi, inti Galungan adalah menyatukan kekuatan rohani agar mendapat pikiran dan pendirian yang terang.
    Bersatunya rohani dan pikiran yang terang inilah wujud dharma dalam diri. Sedangkan segala kekacauan pikiran itu (byaparaning idep) adalah wujud adharma. Dari konsepsi lontar Sunarigama inilah didapatkan kesimpulan bahwa hakikat Galungan adalah merayakan menangnya dharma melawan adharma.
    Untuk memenangkan dharma itu ada serangkaian kegiatan yang dilakukan sebelum dan setelah Galungan. Sebelum Galungan ada disebut Sugihan Jawa dan Sugihan Bali. Kata “Jawa” di sini sama dengan “Jaba”, artinya luar. Sugihan Jawa bermakna menyucikan bhuana agung (bumi ini) di luar dari manusia.
    Sugihan Jawa dirayakan pada hari Wrhaspati Wage Wuku Sungsang, enam hari sebelum Galungan. Dalam lontar Sundarigama disebutkan bahwa pada hari Sugihan Jawa itu merupakan Pasucian dewa kalinggania pamrastista batara kabeh (Penyucian Dewa, karena itu hari penyucian semua bhatara).
    Pelaksanaan upacara ini adalah dengan membersihkan segala tempat dan peralatan upacara di masing-masing tempat suci. Sedangkan pada hari Jumat Kliwon Wuku Sungsang disebutkan: Kalinggania amretista raga tawulan (Oleh karenanya menyucikan badan jasmani masing- masing).
    Karena itu Sugihan Bali disebutkan menyucikan diri sendiri. Kata “bali” dalam bahasa Sansekerta berarti kekuatan yang ada di dalam diri. Dan itulah yang disucikan.
    Pada Redite Paing Wuku Dungulan diceritakan Sang Kala Tiga Wisesa turun mengganggu manusia. Karena itulah pada hari tersebut dianjurkan anyekung jñana, artinya: mendiamkan pikiran agar jangan dimasuki oleh Butha Galungan. Dalam lontar itu juga disebutkan “nirmalakena” (orang yang pikirannya selalu suci) tidak akan dimasuki oleh Butha Galungan.
    Pada hari Senin Pon Dungulan disebut Penyajaan Galungan. Pada hari ini orang yang paham tentang yoga dan samadhi melakukan pemujaan. Dalam lontar disebutkan, “Pangastawaning sang ngamong yoga samadhi.”

    Pada hari Anggara Wage wuku Dungulan disebutkan Penampahan Galungan. Pada hari inilah dianggap sebagai hari untuk mengalahkan Butha Galungan dengan upacara pokok yaitu membuat banten byakala yang disebut “pamyakala lara melaradan”. Umat kebanyakan pada hari ini menyembelih babi sebagai binatang korban. Namun makna sesungguhnya adalah pada hari ini hendaknya membunuh sifat-sifat kebinatangan yang ada pada diri.
    Demikian urutan upacara yang mendahului Galungan. Setelah hari raya Galungan yaitu hari Kamis Umanis wuku Dungulan disebut Manis Galungan. Pada hari ini umat mengenang betapa indahnya kemenangan dharma. Umat pada umumnya melampiaskan kegembiraan dengan mengunjungi tempat-tempat hiburan terutama panorama yang indah. Juga mengunjungi sanak saudara sambil bergembira-ria.

    Hari berikutnya adalah hari Sabtu Pon Dungulan yang disebut hari Pemaridan Guru. Pada hari ini, dilambangkan dewata kembali ke sorga dan meninggalkan anugrah berupa “kadirghayusaan” yaitu hidup sehat panjang umur. Pada hari ini umat dianjurkanmenghaturkan canang meraka
    dan “matirta gocara”. Upacara tersebut barmakna, umat menikmati waranugraha Dewata.
    (Sumber: Buku “Yadnya dan Bhakti” oleh Ketut Wiana, terbitan Pustaka Manikgeni)

    Sejarah Galungan

    Sejarah dan Makna Hari Raya Galungan
    Sehubungan dengan jatuhnya Hari Raya Galungan pada hari ini di Bali, maka akan membahas sedikit sejarah mengenai Hari Raya Galungan. Semoga dengan ini mereka yang merayakan semakin mendalami makna yang sebenarnya dari Hari Raya Galungan.
    Kata “Galungan” berasal dari bahasa Jawa Kuna yang artinya menang atau bertarung. Galungan juga sama artinya dengan Dungulan, yang juga berarti menang. Karena itu di Jawa, wuku yang kesebelas disebut Wuku Galungan, sedangkan di Bali wuku yang kesebelas itu disebut Wuku Dungulan. Namanya berbeda, tapi artinya sama saja. Seperti halnya di Jawa dalam rincian pancawara ada sebutan Legi sementara di Bali disebut Umanis, yang artinya sama: manis.
    Agak sulit untuk memastikan bagaimana asal-usul Hari Raya Galungan ini. Kapan sebenarnya Galungan dirayakan pertamakali di Indonesia, terutama di Jawa dan di daerah lain khususnya di Bali.
    Drs. I Gusti Agung Gede Putra (mantan Dirjen Bimas Hindu dan Buddha Departemen Agama RI) memperkirakan, Galungan telah lama dirayakan umat Hindu di Indonesia sebelum hari raya itu populer dirayakan di Pulau Bali. Dugaan ini didasarkan pada lontar berbahasa Jawa Kuna yang bernama Kidung Panji Amalat Rasmi.
    Tetapi, kapan tepatnya Galungan itu dirayakan di luar Bali dan apakah namanya juga sama Galungan, masih belum terjawab dengan pasti. Namun di Bali, ada sumber yang memberikan titik terang. Menurut lontar Purana Bali Dwipa, Galungan pertama kali dirayakan pada hari Purnama Kapat, Budha Kliwon Dungulan, tahun Saka 804 atau tahun 882 Masehi. Dalam lontar itu disebutkan:
    Punang aci Galungan ika ngawit, Bu, Ka, Dungulan sasih kacatur, tanggal 15, isaka 804. Bangun indria Buwana ikang Bali rajya.
    Artinya:
    Perayaan (upacara) Hari Raya Galungan itu pertama-tama adalah pada hari Rabu Kliwon, (Wuku) Dungulan sasih kapat tanggal 15, tahun 804 Saka. Keadaan Pulau Bali bagaikan Indra Loka.
    Sejak itu Galungan terus dirayakan oleh umat Hindu di Bali secara meriah. Setelah Galungan ini dirayakan kurang lebih selama tiga abad, tiba-tiba — entah apa dasar pertimbangannya — pada tahun 1103 Saka perayaan hari raya itu dihentikan. Itu terjadi ketika Raja Sri Ekajaya memegang tampuk pemerintahan. Galungan juga belum dirayakan ketika tampuk pemerintahan dipegang Raja Sri Dhanadi. Selama Galungan tidak dirayakan, konon musibah datang tak henti-henti. Umur para pejabat kerajaan konon menjadi relatif pendek.
    Ketika Sri Dhanadi mangkat dan digantikan Raja Sri Jayakasunu pada tahun 1126 Saka, barulah Galungan dirayakan kembali, setelah sempat terlupakan kurang lebih selama 23 tahun. Keterangan ini bisa dilihat pada lontar Sri Jayakasunu.
    Dalam lontar tersebut diceritakan bahwa Raja Sri Jayakasunu merasa heran mengapa raja dan pejabat-pejabat raja sebelumnya selalu berumur pendek. Untuk mengetahui penyebabnya, Raja Sri Jayakasunu mengadakan tapa brata dan samadhi di Bali yang terkenal dengan istilah Dewa Sraya — artinya mendekatkan diri pada Dewa. Dewa Sraya itu dilakukan di Pura Dalem Puri, tak jauh dari Pura Besakih.
    Karena kesungguhannya melakukan tapa brata, Raja Sri Jayakasunu mendapatkan pawisik atau “bisikan religius” dari Dewi Durgha, sakti dari Dewa Siwa. Dalam pawisik itu Dewi Durgha menjelaskan kepada raja bahwa leluhurnya selalu berumur pendek karena tidak lagi merayakan Galungan.
    Karena itu Dewi Durgha meminta kepada Raja Sri Jayakasunu supaya kembali merayakan Galungan setiap Rabu Kliwon Dungulan sesuai dengan tradisi yang pernah berlaku. Di samping itu disarankan pula supaya seluruh umat Hindu memasang penjor pada hari Penampahan Galungan (sehari sebelum Galungan).
    Disebutkan pula, inti pokok perayaan hari Penampahan Galungan adalah melaksanakan byakala yaitu upacara yang bertujuan untuk melepaskan kekuatan negatif (Buta Kala) dari diri manusia dan lingkungannya. Semenjak Raja Sri Jayakasunu mendapatkan bisikan religius itu, Galungan dirayakan lagi dengan hikmat dan meriah oleh umat Hindu di Bali.


    Makna Filosofis Galungan
    Galungan adalah suatu upacara sakral yang memberikan kekuatan spiritual agar mampu membedakan mana dorongan hidup yang berasal dari adharma dan mana dari budhi atma yaitu berupa suara kebenaran (dharma) dalam diri manusia.
    Selain itu juga memberi kemampuan untuk membeda-bedakan kecendrungan keraksasaan (asura sampad) dan kecendrungan kedewaan (dewa sampad). Harus disadari bahwa hidup yang berbahagia atau ananda adalah hidup yang memiliki kemampuan untuk menguasai kecenderungan keraksasaan.
    Galungan adalah juga salah satu upacara agama Hindu untuk mengingatkan manusia secara ritual dan spiritual agar selalu memenangkan Dewi Sampad untuk menegakkan dharma melawan adharma. Dalam lontar Sunarigama, Galungan dan rincian upacaranya dijelaskan dengan mendetail. Mengenai makna Galungan dalam lontar Sunarigama dijelaskan sebagai berikut:
    Budha Kliwon Dungulan Ngaran Galungan patitis ikang janyana samadhi, galang apadang maryakena sarwa byapaning idep
    Artinya:
    Rabu Kliwon Dungulan namanya Galungan, arahkan ber-satunya rohani supaya mendapatkan pandangan yang terang untuk melenyapkan segala kekacauan pikiran. Jadi, inti Galungan adalah menyatukan kekuatan rohani agar mendapat pikiran dan pendirian yang terang.
    Bersatunya rohani dan pikiran yang terang inilah wujud dharma dalam diri. Sedangkan segala kekacauan pikiran itu (byaparaning idep) adalah wujud adharma. Dari konsepsi lontar Sunarigama inilah didapatkan kesimpulan bahwa hakikat Galungan adalah merayakan menangnya dharma melawan adharma.
    Untuk memenangkan dharma itu ada serangkaian kegiatan yang dilakukan sebelum dan setelah Galungan. Sebelum Galungan ada disebut Sugihan Jawa dan Sugihan Bali. Kata “Jawa” di sini sama dengan “Jaba”, artinya luar. Sugihan Jawa bermakna menyucikan bhuana agung (bumi ini) di luar dari manusia.
    Sugihan Jawa dirayakan pada hari Wrhaspati Wage Wuku Sungsang, enam hari sebelum Galungan. Dalam lontar Sundarigama disebutkan bahwa pada hari Sugihan Jawa itu merupakan Pasucian dewa kalinggania pamrastista batara kabeh (Penyucian Dewa, karena itu hari penyucian semua bhatara).
    Pelaksanaan upacara ini adalah dengan membersihkan segala tempat dan peralatan upacara di masing-masing tempat suci. Sedangkan pada hari Jumat Kliwon Wuku Sungsang disebutkan: Kalinggania amretista raga tawulan (Oleh karenanya menyucikan badan jasmani masing- masing).
    Karena itu Sugihan Bali disebutkan menyucikan diri sendiri. Kata “bali” dalam bahasa Sansekerta berarti kekuatan yang ada di dalam diri. Dan itulah yang disucikan.
    Pada Redite Paing Wuku Dungulan diceritakan Sang Kala Tiga Wisesa turun mengganggu manusia. Karena itulah pada hari tersebut dianjurkan anyekung jñana, artinya: mendiamkan pikiran agar jangan dimasuki oleh Butha Galungan. Dalam lontar itu juga disebutkan “nirmalakena” (orang yang pikirannya selalu suci) tidak akan dimasuki oleh Butha Galungan.
    Pada hari Senin Pon Dungulan disebut Penyajaan Galungan. Pada hari ini orang yang paham tentang yoga dan samadhi melakukan pemujaan. Dalam lontar disebutkan, “Pangastawaning sang ngamong yoga samadhi.”

    Pada hari Anggara Wage wuku Dungulan disebutkan Penampahan Galungan. Pada hari inilah dianggap sebagai hari untuk mengalahkan Butha Galungan dengan upacara pokok yaitu membuat banten byakala yang disebut “pamyakala lara melaradan”. Umat kebanyakan pada hari ini menyembelih babi sebagai binatang korban. Namun makna sesungguhnya adalah pada hari ini hendaknya membunuh sifat-sifat kebinatangan yang ada pada diri.
    Demikian urutan upacara yang mendahului Galungan. Setelah hari raya Galungan yaitu hari Kamis Umanis wuku Dungulan disebut Manis Galungan. Pada hari ini umat mengenang betapa indahnya kemenangan dharma. Umat pada umumnya melampiaskan kegembiraan dengan mengunjungi tempat-tempat hiburan terutama panorama yang indah. Juga mengunjungi sanak saudara sambil bergembira-ria.

    Hari berikutnya adalah hari Sabtu Pon Dungulan yang disebut hari Pemaridan Guru. Pada hari ini, dilambangkan dewata kembali ke sorga dan meninggalkan anugrah berupa “kadirghayusaan” yaitu hidup sehat panjang umur. Pada hari ini umat dianjurkanmenghaturkan canang meraka
    dan “matirta gocara”. Upacara tersebut barmakna, umat menikmati waranugraha Dewata.
    (Sumber: Buku “Yadnya dan Bhakti” oleh Ketut Wiana, terbitan Pustaka Manikgeni)

    Kiat Menghadapi Kematian

    Kematian
    Bukan Sesuatu Yang Menakutkan
    Oleh; Romo Poniman
    11 Juli 2011

    Baik manusia yang sadar maupun belum memiliki kesadaran hidup, bahwa kematian pada hakikatnya berlaku bagi semua. Jika kematian merupakan suatu keabadian, maka kehidupan sesungguhnya juga suatu keabadian. Kematian, kelahiran, kehidupan adalah realitas. Jika bayi lahir dari perut ibunya ia tidak mampu menolaknya, maka ketika orang yang menghadapi sekaratul maut (kematian sedang menjemputnya) ia juga tidak kuasa menolaknya. Orang yang tidak takut ketika kematian menjemputnya, sesungguhnya orang yang beruntung dalam hidup didunia, tetapi orang yang menyadari bahwa kematian tidak dapat dihindari sebenarnya mengetahui hakikat hidup sejati.
    Bagi yang belum memahami kematian, maka kematian menjadi momok baginya. Banyak orang enggan membicarakan topik ini, menutup mata, telinga dan pikiran tentang kematian, tetapi disisi lain kita mendengar ungkapan yang halus terhadap orang yang sudah meninggal dengan sebutan amor ring acintya, mantuk ring ayunaning Gusti, tilar donyo, wangsul ing kasidan jati, telah berpulang atau bahasa indah yang menyenangkan hati guna melawan pandangan rasa yang menyedihkan karena ditinggal mati.
    Kematian berlaku bagi semua orang, secara realitas banyak orang yang tidak menginginkan kematian terlebih kematian dini, akan tetapi realitasnya bahwa kematian tiada mengenal kompromi. Kematian lekat sekali dengan kehidupan. Kematian sendiri ada berbagai macamnya baik yang sempurna maupun yang tidak sempurna.  Tanda-tanda akan datangnya suatu kematian pada diri sebenarnya sudah ada dan ditunjukkan oleh sang pencabut maut seperti adanya usia tua, penyakit yang tiada kunjung sembuh, terluka oleh senjata, akan dibunuh dengan sengaja oleh orang lain dan tiada tempat untuk melepaskan diri, indera pendengaran yang mulai melemah atau budeg, mata mulai rabun, dan sebagainya. Semua pertanda akan datangnya kematian pada dri tiap orang tentulah berbeda dan hanya orang itulah sesungguhnya yang harus mengenali setiap peristiwa dirinya.Sempurna maupun tidaknya kematian itu yang jelas roh dan jiwa terpisah, itu sebagai etika tentang kematian namun sejauh ini etika itu berlaku bagi yang hidup, sedangkan bagi yang mati dia tidak sadar akan akibat apa hingga dia terpisah antara roh dan badan dan yang jelas dia sudah berada di alam lain.
    Hingga saat ini masih banyak orang yang belum siap menghadapi yang disebut kematian, namun sesungguhnya orang-orang itu belum sadar bahwa jika kematian sendiri tiada bisa ditolak dan mereka tidak sadar ketika seseorang hendak lahir apakah ada yang bisa menolak kelahiran itu?. Jika memang sudah saatnya maut menjemput, terlebih bagi seorang yang tahu dirinya akan mati, maka orang yang memiliki kesadaran diri dan hakikat hidup, dia akan dengan bangga menerima kenyataan itu, serta mempersiapkan diri dengan baik untuk menyambut peristiwa itu dengan penuh kebahagiaan dan dengan memusatkan pikiran pada posisi konsentrasi penuh kepada sasaran yang akan dituju, yaitu manunggal kepada Sang Hyang Widhi. Namun jika ada orang yang belum siap menghadapi maut, walaupun sesungguhnya dia sudah tahu akan datangnya maut itu, baik atas kehendak tangan orang maupun karena sakit yang tak kunjung sembuh, maka sebenarnya dia termasuk orang yang belum paham hakikat hidup dan termasuk orang yang merugi, karena sudah tahu akan datangnya kematian masih takut prilakunya. Berbeda dengan orang yang tidak tahu akan datangnya kematian dan tiba-tiba dalam tidur bermimpi terus
    kebablasan mati, maka dia termasuk mati yang tiada jelas sasarannya, apakah ketika itu mimpi dibawa orang jahat atau mimpi yang indah masuk sorga dan keenakan, namun tiada bisa dikatakan mati seperti itu sebagai katagori mati dalam kesadaran. Ada juga yang mati karena disambar petir atau kecelakaan yang lain yang tanpa melalui rasa sakit terus langsung rohnya meninggalkan badan tanpa kesadaran atas dirinya ada peristiwa  yang menimpa diri sehingga menjadikan terlepasnya roh dengan badan, mati seperti mereka itu ada yang mengatakan termasuk mati kesasar atau mati yang kurang sempurna maka mereka termasuk orang yang kurang beruntung, karena tiada mengenal dan mempersiapkan diri menghadapi ajalnya.
    Orang yang belum siap menghadapi kematian maka akan terjadi suatu keadaan- keadaan yang aneh-aneh seputar kematiaanya seperti mata mendolo, lidah menjulur, mengeliat tak karuan, gelisah, dan bahkan ada yang menangis karena berbagai sebab. Apapun alasannya keadaan itu tiada membuahkan hasil yang baik untuk menolak kematian yang akan menjemput. Penolakan itu justru merugikan dirinya sendiri sehingga terjadi kekacauan pikiran disaat menghadapi suatu peristiwa yang sebenarnya menyenangkan. Ada juga yang berangapan bahwa jika terjadi keanehan pada jasad yang seperti itu akibat dosa-dosa yang pernah ia alami selama hidup. Angapan tersebut bisa benar-juga tidak sebab kejadian yang dialami seseorang yang sedang dalam posisi menjelang kematian menjemput berbeda-beda.
    Berbagai macam keadaan dan waktu yang menjemput kematian itu. Ada yang mati karena mimpi, mati disaat tertidur pulas, mati disambar petir, mati kecelakaan atau tertimpa bencana dan adapula yang mati benar-benar disadari akan ajal. Keadaan itu semua pada akhirnya mati adanya dan tiada perlu ditakutkan, oleh karena itu semua sudah menjadi hukum sebab akibat atau karmaphala bahwa jika manusia itu telahirkan atau terdatangkan maka akan mengalami terpulangkan atau mati. Sehingga apapun penyebab kematian itu sesungguhnya memang jalan itu yang harus dialami oleh sang penyandang raga, akan tetapi sesungguhnya manusia hanyalah menjalankan karmanya saja. Jika karmanya baik maka jalan terbaik pula yang ia terima disaat ajal, tetapi jika buruk karmanya maka jalan buruk pula yang ia terima disaat ajal, hal itu sangat tidak bisa dipungkiri oleh siapa saja. Oleh karena itu sangatlah utama dengan tetap eling lan waspodo yaitu ingatlah selalu pada Tuhan disetiap kesadaran diri.

    Langkah-langkah yang diperlukan menghadapi kematian.

    Bagi semua orang hendaknya berperilaku menurut aturan hidup yang benar. Perilaku yang benar bahwa tujuan hidup ini adalah untuk memperbaiki karmawasana yang dibawa ketika kita dilahirkan. Hendaknya selalu mempelajari ilmu kasampurnan yaitu suatu ilmu yang didalamnya mengajarkan hakikat hidup dan kehidupan. Menyadari bahwa Ilmu yang bersifat duniawi adalah sebagai penunjang kesadaran diri didalam menyongsong datangnya maut, bukan terlena oleh kebahagiaan dunia akibat kekayaan dunia ataupun kebahagiaan duniawi lainnya. Menyadari bahwa kebahagiaan duniawi sebagai perantara menuju kesadaran agung yaitu sarana menuju kebahagiaan abadi menyatunya diri dan Tuhan/ Manunggaling Kawulo lan Gusti. Menyadari segala gerak dan langkahnya untuk kebahagiaan bersama bukan kebahagiaan diri sendiri dengan selalu melakukan kegiatan Dharma seperti berdana-punia bagi yang berlebihan dan melakukan Sevanam dan Bhakti kepada Tuhan bagi semua orang.
    Jika ada tanda-tanda akan datangnya maut pada diri seperti penyakit yang tak kunjung sembuh, umur tua, serta keadaan diri yang sudah tidak berdaya seperti adanya suara yang aneh-aneh pada diri yang tiada dimengerti oleh diri maka perlu segera mengambil langkah-langkah yang diperlukan diantaranya segera menyelesaikan permasalahan duniawi dan melupakannya segala urusannya dan diserahkan kepada sanak saudara tanpa pikirkan lagi Jika tiba saatnya kematian, janganlah tiada dirasakan kepergian Sang Roh Yang Mempribadi tatkala terpisah dari Sang Diri. Janganlah Sang Roh diberi jalan keluar melalui 9 lubang. Mana yang disebut 9 lubang antara lain; diatas ada 7 jalan (mata = 2, telinga =2, hidung =2, mulut =1). Dibawah ada 2 jalan (kemaluan =1, dubur =1). Kesembilan jalan itu disebut nista. Apabila sang Roh meninggalkan Sang Diri melalui Siwadwara (ubun-ubun) disebut jalan menengah. Sedangkan jalan utama apabila Sang Roh melalui ujung suara (sabda) meninggalkan Sang Diri yaitu melalui celah-celah pikiran. Artinya pada denyutan jantung. Apabila saat terpisahnya Sang Roh dari Sang Diri janganlah pikirkan badanmu lagi, jangan ingat anak istri dan jangan pikirkan kemewahan dunia, pikirkan selalu nama Tuhan (Sanghyang Siwa, Sanghyang Pramana, dan Sanghyang Jnana) satukan ketiga kekuatan itu dan pusatkan jadikan satu arah, antarkan pikiran dengan mengikuti jalan ujung suara yaitu celah-celah pikiran itu. Inilah kebebasan Sang Roh Yang Mempribadi menuju Dia Sang Roh Yang Maha Agung Sang Bujangga dan Siwa, Manunggalnya Sang Diri dengan Gusti/Hyang Parama Siwa/Tuhan Yang Maha Agung dan tiada menjelma lagi kedunia menemukan kebahagiaan abadi.

    Makna Hidup dalam Dewa Ruci

    " DEWARUCI "
    Disunting oleh: Romo Poniman
    11 Juli 2011

    Cerita tentang  AJARAN DEWA RUCI KEPADA ARYA WREKUDARA/ARYA SENA/BIMA ketika masuk ke dasar samudera guna memenuhi tugas gurunya mencari air penghidupan  /Tirthakamandalu
    Seperti apa kisahnya, maka kami informasikan intisarinya yaitu bahwa pihak kaum Kurawa  dengan nama negeri Amarta,  ingin menjerumuskan pihak Pandawa  di  negeri Astina,(yang sebenarnya adalah:bersaudara) ke dalam kesengsaraan, melalui  perantaraan Guru Drona. Sena yang adalah murid guru Drona diberikan  ajaran: bahwa dalam  mencapai kesempurnaan demi kesucian badan ,maka  diharuskan mengikuti perintah sang Guru untuk mencari air  suci penghidupan ke hutan Tibrasara. Sena yang telah yakin tidak mungkin teritipu dan dibunuh oleh anjuran Gurunya,  tetap berniat pergi mengikuti perintah sang Guru,walaupun  sebenarnya ada niat sang Guru Drona untuk mencelakaannya.
    Diceritakan  Pada saat di negeri Amarta ,Prabu Suyudana/raja Mandaraka/prabu Salya sedang membahas bagaimana caranya Pandawa dapat ditipu secara halus agar musnah, sebelum terjadinya perang Baratayuda, bersama dengan Resi Drona, Adipati Karna, Raden Suwirya, Raden Jayasusena, Raden Rikadurjaya, Adipati dari Sindusena, Jayajatra, Patih Sengkuni, Bisma, Dursasana, dan lain-lainnya termasuk para sentana/pembesar andalan lainnya.
    Kemudian Drona memberi petunjuk kepada Sena, bahwa jika ia telah menemukan air suci itu ,maka akan berarti dirinya mencapai kesempurnaan, menonjol diantara sesama makhluk,dilindungi ayah-ibu, mulia, berada dalam triloka,akan hidup kekal adanya. Selanjutnya dikatakan, bahwa letak air suci ada di hutan Tibrasara, dibawah Gandawedana, di gunung Candramuka, di dalam gua. Kemudian setelah ia mohon pamit kepada Druna dan prabu Suyudana, lalu keluar dari istana, untuk mohon pamit, mereka semua tersenyum, membayangkan Sena berhasil ditipu dan akan hancur lebur melawan dua raksasa yang tinggal di gua itu, sebagai rasa optimisnya ,untuk sementara merekamerayakan dengan bersuka-ria, pesta makan minum sepuas-puasnya.
    Setelah sampai di gua gunung Candramuka, air  yang dicari ternyata tidak ada, lalu gua disekitarnya diobrak-abrik. Raksasa Rukmuka dan Rukmakala yang berada di gua terkejut, marah dan mendatangi Sena. Namun walau telah dijelaskan niat kedatangannya, kedua raksasa itu karena merasa terganggu akibat ulah Sena, tetap saja mengamuk. Terjadi perkelahian .......Namun dalam perkelahian  dua Raksaksa tersebut  kalah, ditendang, dibanting ke atas batu dan meledak hancur lebur. Kemudian Sena mengamuk dan mengobrak-abrik lagi sampai lelah,dalam hatinya ia  bersedih hati dan berfikir bagaimana mendapatkan   air suci tersebut.Karena kelelahan,kemudian ia berdiri dibawah pohon beringin.
    Tak lama kemudian, Sena mendengar suara tak berwujud :  "Wahai cucuku yang sedang bersedih,enkau  mencari tidak menjumpai, engkau tidak mendapat bimbingan yang nyata, tentang tempat benda yang kau cari itu, sungguh menderita dirimu".  Diceritakan saat Sena sudah pasrah..... suara itu  yang ternyata adalah  dua dewa, Sang Hyang Endra dan Batara Bayu, yang  memberitahu bahwa dua  raksasa yang dibunuh Sena,ternyata memang  sedang dihukum Hyang Guru. Lalu dikatakan juga agar untuk mencari air kehidupan, Sena di perintahkan agar kembali ke Astina.Perintah inipun dituruti lagi.........
    Setibanya di serambi Astina, saat lengkap dihadiri Resi Druna, Bisma, Suyudana, Patih Sangkuni, Sindukala, Surangkala, Kuwirya Rikadurjaya, Jayasusena, lengkap bala Kurawa, dan lain-lainnya, terkejut....!  atas kedatangan Sena. Ia memberi laporan tentang perjalannya dan dijawab oleh Sang Druna :bahwa ia  sebenarnya hanya diuji, sebab tempat air yang dicari, sebenarnya ada  di tengah samudera. Suyudana juga membantu bicara untuk meyakinkan Sena.
    Karena tekad yang kuat maka Senapun  lalu ia pergi lagi....., yang sebelumnya ia sempat mampir dahulu ke Ngamarta.(tempat para kerabatnya berada)
    Sementara itu  di Astina keluarga Sena ynag mengetahui tipudaya pihak Kurawa mengirim surat kepada prabu Harimurti/Kresna di Dwarawati, yang dengan tergesa-gesa bersama bala pasukan datang ke Ngamarta. Setelah menerima penjelasan dari Darmaputra, Kresna mengatakan bahwa janganlah Pandawa bersedih, sebab tipu daya para Kurawa akan mendapat balasan dengan jatuhnya bencana dari dewata yang agung.
    Ketika sedang asyik berbincang-bincang, datanglah Sena, yang membuat para Pandawa termasuk Pancawala, Sumbadra, Retna Drupadi dan Srikandi, dan lain-lainnya, senang dan akan mengadakan pesta. Namun tidak disangka, karena Sena ternyata melaporkan bahwa ia akan meneruskan pencarian air suci itu, yaitu ke tengah samudera. Nasehat dan tangisan, termasuk tangisan semua sentana laki-laki dan perempuan, tidak membuatnya mundur.
    Sena berangkat pergi, tanpa rasa takut keluar masuk hutan, naik turun gunung, yang akhirnya tiba di tepi laut. Sang ombak bergulung-gulung menggempur batu karang bagaikan menyambut dan tampak kasihan kepada yang baru datang, bahwa ia di tipu agar masuk ke dalam samudera, topan datang juga riuh menggelegar, seakan mengatakan bahwa Druna memberi petunjuk sesat dan tidak benar.
    Bagi Sena, lebih baik mati dari pada pulang menentang sang Maharesi, walaupun ia tidak mampu masuk ke dalam air, ke dasar samudera. Maka akhirnya ia berpasrah diri, tidak merasa takut, sakit dan mati memang sudah kehendak dewata yang agung, karena sudah menyatakan kesanggupan kepada Druna dan prabu Kurupati, dalam mencari Tirta Kamandanu, masuk ke dalam samudera.
    Dengan suka cita ia lama memandang laut dan keindahan isi laut, kesedihan sudah terkikis, menerawang tanpa batas, lalu ia memusatkan perhatian tanpa memikirkan marabahaya, dengan semangat yang menyala-nyala mencebur ke laut, tampak kegembiraannya, dan tak lupa digunakannya ilmu Jalasengara, agar air menyibak.
    Alkisah ada naga sebesar segara anakan, pemangsa ikan di laut, wajah liar dan ganas, berbisa sangat mematikan, mulut bagai gua, taring tajam bercahaya, melilit Sena sampai hanya tertinggal lehernya, menyemburkan bisa bagai air hujan. Sena bingung dan mengira cepat mati, tapi saat lelah tak kuasa meronta, ia teringat segera menikamkan kukunya, kuku Pancanaka, menancap di badan naga, darah memancar deras, naga besar itu mati, seisi laut bergembira.

    Sementara itu Pandawa bersedih hati dan menangis memohon penuh iba, kepada prabu Kresna. Lalu dikatakan oleh Kresna, bahwa Sena tidak akan meninggal dunia, bahkan mendapatkan pahala dari dewata yang nanti akan datang dengan kesucian, memperoleh cinta kemuliaan dari Hyang Suksma Kawekas, diijinkan berganti diri menjadi batara yang berhasil menatap dengan hening. Para saudaranya tidak perlu sedih dan cemas.
    Kembali dikisahkan Sang Wrekudara yang masih di samudera, ia bertemu dengan dewa berambut panjang, seperti anak kecil bermain-main di atas laut, bernama Dewa Ruci. Lalu ia berbicara :"Sena apa kerjamu, apa tujuanmu, tinggal di laut, semua serba tidak ada tak ada yang dapat di makan, tidak ada makanan, dan tidak ada pakaian. Hanya ada daun kering yang tertiup angin, jatuh didepanku, itu yang saya makan". Dikatakan pula :"Wahai Wrekudara, segera datang ke sini, banyak rintangannya, jika tidak mati-matian tentu tak akan dapat sampai di tempat ini, segalanya serba sepi. Tidak terang dan pikiranmu memaksa, dirimu tidak sayang untuk mati, memang benar, disini tidak mungkin ditemukan".
    "Kau pun keturunan Sang Hyang Pramesthi, Hyang Girinata, kau keturunan dari Sang Hyang Brama asal dari para raja, ayahmu pun keturunan dari Brama, menyebarkan para raja, ibumu Dewi Kunthi, yang memiliki keturunan, yaitu sang Hyang Wisnu Murti. Hanya berputra tiga dengan ayahmu, Yudistira sebagai anak sulung, yang kedua dirimu, sebagai penengah adalah Dananjaya, yang dua anak lain dari keturunan dengan Madrim, genaplah Pandawa, kedatanganmu disini pun juga atas petunjuk Dhang Hyang Druna untuk mencari air Penghidupan berupa air jernih, karena gurumu yang memberi petunjuk, itulah yang kau laksanakan, maka orang yang bertapa sulit menikmati hidupnya", lanjut Dewa Ruci.
    Kemudian dikatakan :"Jangan pergi bila belum jelas maksudnya, jangan makan bila belum tahu rasa yang dimakan, janganlah berpakaian bila belum tahu nama pakaianmu. Kau bisa tahu dari bertanya, dan dengan meniru juga, jadi dengan dilaksanakan, demikian dalam hidup, ada orang bodoh dari gunung akan membeli emas, oleh tukang emas diberi kertas kuning dikira emas mulia. Demikian pula orang berguru, bila belum paham, akan tempat yang harus disembah".
    Wrekudara masuk tubuh Dewa Ruci menerima ajaran tentang Kenyataan
    "Segeralah kemari Wrekudara, masuklah ke dalam tubuhku", kata Dewa Ruci. Sambil tertawa sena bertanya :"Tuan ini bertubuh kecil, saya bertubuh besar, dari mana jalanku masuk, kelingking pun tidak mungkin masuk".Dewa Ruci tersenyum dan berkata lirih:"besar mana dirimu dengan dunia ini, semua isi dunia, hutan dengan gunung, samudera dengan semua isinya, tak sarat masuk ke dalam tubuhku".
    Atas petunjuk Dewa Ruci, Sena masuk ke dalam tubuhnya melalui telinga kiri. Dan tampaklah laut luas tanpa tepi, langit luas, tak tahu mana utara dan selatan, tidak tahu timur dan barat, bawah dan atas, depan dan belakang. Kemudian, terang, tampaklah Dewa Ruci, memancarkan sinar, dan diketahui lah arah, lalu matahari, nyaman rasa hati.
    Ada empat macam benda yang tampak oleh Sena, yaitu hitam, merah kuning dan putih. Lalu berkatalah Dewa Ruci:"Yang pertama kau lihat cahaya, menyala tidak tahu namanya, Pancamaya itu, sesungguhnya ada di dalam hatimu, yang memimpin dirimu, maksudnya hati, disebut muka sifat, yang menuntun kepada sifat lebih, merupakan hakikat sifat itu sendiri. Lekas pulang jangan berjalan, selidikilah rupa itu jangan ragu, untuk hati tinggal, mata hati itulah, menandai pada hakikatmu, sedangkan yang berwarna merah, hitam, kuning dan putih, itu adalah penghalang hati.
    Yang hitam kerjanya marah terhadap segala hal, murka, yang menghalangi dan menutupi tindakan yang baik. Yang merah menunjukkan nafsu yang baik, segala keinginan keluar dari situ, panas hati, menutupi hati yang sadar kepada kewaspadaan. Yang kuning hanya suka merusak. Sedangkan yang putih berarti nyata, hati yang tenang suci tanpa berpikiran ini dan itu, perwira dalam kedamaian. Sehingga hitam, merah dan kuning adalah penghalang pikiran dan kehendak yang abadi, persatuan Suksma Mulia.
    Lalu Wrekudara melihat, cahaya memancar berkilat, berpelangi melengkung, bentuk zat yang dicari, apakah gerangan itu ?! Menurut Dewa Ruci, itu bukan yang dicari (air suci), yang dilihat itu yang tampak berkilat cahayanya, memancar bernyala-nyala, yang menguasai segala hal, tanpa bentuk dan tanpa warna, tidak berwujud dan tidak tampak, tanpa tempat tinggal, hanya terdapat pada orang-orang yang awas, hanya berupa firasat di dunia ini, dipegang tidak dapat, adalah Pramana, yang menyatu dengan diri tetapi tidak ikut merasakan gembira dan prihatin, bertempat tinggal di tubuh, tidak ikut makan dan minum, tidak ikut merasakan sakit dan menderita, jika berpisah dari tempatnya, raga yang tinggal, badan tanpa daya. Itulah yang mampu merasakan penderitaannya, dihidupi oleh suksma, ialah yang berhak menikmati hidup, mengakui rahasia zat.
    Kehidupan Pramana dihidupi oleh suksma yang menguasai segalanya, Pramana bila mati ikut lesu, namun bila hilang, kehidupan suksma ada. Sirna itulah yang ditemui, kehidupan suksma yang sesungguhnya, Pramana Anresandani.
    Jika ingin mempelajari dan sudah didapatkan, jangan punya kegemaran, bersungguh-sungguh dan waspada dalam segala tingkah laku, jangan bicara gaduh, jangan bicarakan hal ini secara sembunyi-sembunyi, tapi lekaslah mengalah jika berselisih, jangan memanjakan diri, jangan lekat dengan nafsu kehidupan tapi kuasailah.
    Tentang keinginan untuk mati agar tidak mengantuk dan tidak lapar, tidak mengalami hambatan dan kesulitan, tidak sakit, hanya enak dan bermanfaat, peganglah dalam pemusatan pikiran, disimpan dalam buana, keberadaannya melekat pada diri, menyatu padu dan sudah menjadi kawan akrab.
    Sedangkan Suksma Sejati, ada pada diri manusia, tak dapat dipisahkan, tak berbeda dengan kedatangannya waktu dahulu, menyatu dengan kesejahteraan dunia, mendapat anugerah yang benar, persatuan manusia/kawula dan pencipta/Gusti. Manusia bagaikan wayang, Dalang yang memainkan segala gerak gerik dan berkuasa antara perpaduan kehendak, dunia merupakan panggungnya, layar yang digunakan untuk memainkan panggungnya.
    Penerima ajaran dan nasehat ini tidak boleh menyombongkan diri, hayati dengan sungguh-sungguh, karena nasehat merupakan benih. Namun jika ditemui ajaran misalnya kacang kedelai disebar di bebatuan tanpa tanah tentu tidak akan dapat tumbuh, maka jika manusia bijaksana, tinggalkan dan hilangkan, agar menjadi jelas penglihatan sukma, rupa dan suara.
    Hyang Luhur menjadi badan Sukma Jernih, segala tingkah laku akan menjadi satu, sudah menjadi diri sendiri, dimana setiap gerak tentu juga merupakan kehendak manusia, terkabul itu namanya, akan segala keinginan, semua sudah ada pada manusia, semua jagad ini karena diri manusia, dalam segala janji janganlah ingkar.
    Jika sudah paham akan segala tanggung jawab, rahasiakan dan tutupilah. Yang terbaik, untuk disini dan untuk disana juga, bagaikan mati di dalam hidup, bagaikan hidup dalam mati, hidup abadi selamanya, yang mati itu juga. Badan hanya sekedar melaksanakan secara lahir, yaitu yang menuju pada nafsu.
    Wrekudara setelah mendengar perkataan Dewa Ruci, hatinya terang benderang, menerima dengan suka hati, dalam hati mengharap mendapatkan anugerah wahyu sesungguhnya. Dan kemudian dikatakan oleh Dewa Ruci :"Sena ketahuilah olehmu, yang kau kerjakan, tidak ada ilmu yang didatangkan, semua sudah kau kuasai, tak ada lagi yang dicari, kesaktian, kepandaian dan keperkasaan, karena kesungguhan hati ialah dalam cara melaksanakan.
    Dewa Ruci selesai menyampaikan ajarannya, Wrekudara tidak bingung dan semua sudah dipahami, lalu kembali ke alam kemanusiaan, gembira hatinya, hilanglah kekalutan hatinya, dan Dewa Ruci telah  sirna dari mata,
    Wrekudara lalu mengingat, banyak yang didengarnya tentang tingkah para Pertapa yang berpikiran salah, mengira sudah benar, akhirnya tak berdaya, dililit oleh penerapannya, seperti mengharapkan kemuliaan, namun  akhirnya tersesat dan terjerumus.
    Bertapa tanpa ilmu, tentu tidak akan berhasil, kematian seolah dipaksakan, melalui kepertapaannya, mengira  dapat mencapai kesempurnaan dengan cara bertapa tanpa petunjuk, tanpa pedoman berguru, mengosongkanan pikiran, belum tentu akan mendapatkan petunjuk yang nyata. Tingkah seenaknya, bertapa dengan merusak tubuh dalam mencapai kamuksan, bahkan gagallah bertapanya itu.
    Guru yang benar, mengangkat murid/cantrik, jika memberi ajaran tidak jauh tempat duduknya, cantrik sebagai sahabatnya, lepas dari pemikiran batinnya, mengajarkan wahyu yang diperoleh. Inilah keutamaan bagi keduanya.
    Tingkah manusia hidup usahakan dapat seperti wayang yang dimainkan di atas panggung, di balik layar ia digerak-gerakkan, banyak hiasan yang dipasang, berlampu panggung matahari dan rembulan, dengan layarnya alam yang sepi, yang melihat adalah pikiran, bumi sebagai tempat berpijak, wayang tegak ditopang orang yang menyaksikan, gerak dan diamnya dimainkan oleh Dalang, disuarakan bila harus berkata-kata, bahwa itu dari Dalang yang berada dibalik layar, bagaikan api dalam kayu, berderit oleh tiupan angin, kayu hangus mengeluarkan asap, sebentar kemudian mengeluarkan api yang berasal dari kayu, ketahuilah asal mulanya, semuanya yang tergetar, oleh perlindungan jati manusia, yang  yang kemudian  sebagai rahasia.
    Kembali ke Negeri Ngamarta
    Tekad yang sudah sempurna, dengan penuh semangat, Raden Arya Wrekudara kemudian pulang dan tiba ke negerinya, Ngamarta, tak berpaling hatinya, tidak asing bagi dirinya, sewujud dan sejiwa, dalam kenyataan ditutupi dan dirahasiakan, dilaksanakan untuk memenuhi kesatriaannya. Permulaan jagad raya, kelahiran batin ini, memang tidak kelihatan, yang bagaikan sudah menyatu, seumpama suatu bentukan, itulah perjalanannya.
    Bersamaan dengan kedatangan Sena, di Ngamarta sedang berkumpul para saudaranya bersama Sang Prabu Kresna, yang sedang membicarakan kepergian Sena, cara masuk dasar samudera. Maka disambutlah ia, dan saat ditanya oleh Prabu Yudistira mengenai perjalanan tugasnya, ia menjawab bahwa perjalanannya itu dicurangi, ada dewa yang memberi tahu kepadanya, bahwa di lautan itu sepi,tidak ada air penghidupan. Gembira mendengar itu, lalu Kresna berkata :"Adikku ketahuilah nanti, jangan lupa segala sesuatu yang sudah terjadi ini".
    Sampai disini cerita singkat tentang Dewa Ruci.
    MAKNA AJARAN DEWA RUCI
    Orang Jawa menganggap cerita wayang merupakan cermin dari pada kehidupannya.
    Dewa Ruci yang merupakan cerita asli wayang Jawa memberikan gambaran yang jelas mengenai hubungan harmonis antara Kawula dan Gusti, yang diperagakan oleh Bima atau Aria Werkudara dan Dewa Ruci.
     Pencarian air suci Prawitasari
    Guru Drona memberitahukan Bima untuk menemukan air suci Prawitasari. Prawita dari asal kata Pawita artinya bersih, suci; sari artinya inti. Jadi Prawitasari pengertiannya adalah inti atau sari dari pada ilmu suci.
     Hutan Tikbrasara dan Gunung Reksamuka
    Air suci itu dikatakan berada dihutan Tikbrasara, dilereng Gunung Reksamuka. Tikbra artinya rasa prihatin; sara berarti tajamnya pisau, ini melambangkan pelajaran untuk mencapai lendeping cipta (tajamnya cipta). Reksa berarti mamalihara atau mengurusi; muka adalah wajah, jadi yang dimaksud dengan Reksamuka dapat diartikan: mencapai sari ilmu sejati melalui samadi.
    1.      Sebelum melakukan samadi orang harus membersihkan atau menyucikan badan dan jiwanya dengan air.
    2.      Pada waktu samadi dia harus memusatkan ciptanya dengan fokus pandangan kepada pucuk hidung. Terminologi mistis yang dipakai adalah mendaki gunung Tursina, Tur berarti gunung, sina berarti tempat artinya tempat yang tinggi.
     Pandangan atau paningal sangat penting pada saat samadi. Seseorang yang mendapatkan restu dzat yang suci, dia bisa melihat kenyataan antara lain melalui cahaya atau sinar yang datang kepadanya waktu samadi. Dalam cerita wayang digambarkan bahwasanya Resi Manukmanasa dan Bengawan Sakutrem bisa pergi ketempat suci melalui cahaya suci.
     Raksasa Rukmuka dan Rukmakala
    Di hutan, Bima diserang oleh dua raksasa yaitu Rukmuka dan Rukmala. Dalam pertempuran yang hebat Bima berhasil membunuh keduanya, ini berarti Bima berhasil menyingkirkan halangan untuk mencapai tujuan supaya samadinya berhasil.
    Rukmuka : Ruk berarti rusak, ini melambangkan hambatan yang berasal dari kemewahan makanan yang enak (kemukten).
    Rukmakala : Rukma berarti emas, kala adalha bahaya, menggambarkan halangan yang datang dari kemewahan kekayaan material antara lain: pakaian, perhiasan seperti emas permata dan lain-lain (kamulyan)
     Bima tidak akan mungkin melaksanakan samadinya dengan sempurna yang ditujukan kepada kesucian apabila pikirannya masih dipenuhi oleh kamukten dan kamulyan dalam kehidupan, karena kamukten dan kamulyan akan menutupi ciptanya yang jernih, terbunuhnya dua raksasa tersebut dengan gamblang menjelaskan bahwa Bima bisa menghapus halangan-halangan tersebut.
     Samudra dan Ular
    Bima akhirnya tahu bahwa air suci itu tidak ada di hutan , tetapi sebenarnya berada didasar samudra. Tanpa ragu-ragu sedikitpun dia menuju ke samudra. Ingatlah kepada perkataan Samudra Pangaksama yang berarti orang yang baik semestinya memiliki hati seperti luasnya samudra, yang dengan mudah akan memaafkan kesalahan orang lain.
     Ular adalah simbol dari kejahatan. Bima membunuh ular tersebut dalam satu pertarungan yang seru. Disini menggambarkan bahwa dalam pencarian untuk mendapatkan kenyataan sejati, tidaklah cukup bagi Bima hanya mengesampingkan kamukten dan kamulyan, dia harus juga menghilangkan kejahatan didalam hatinya. Untuk itu dia harus mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:
    1.      Rila: dia tidak susah apabila kekayaannya berkurang dan tidak iri kepada orang lain.
    2.      Legawa : harus selalu bersikap baik dan benar.
    3.      Nrima : bersyukur menerima jalan hidup dengan sadar.
    4.      Anoraga : rendah hati, dan apabila ada orang yang berbuat jahat kepadanya, dia tidak akan membalas, tetap sabar.
    5.      Eling : tahu mana yang benar dan salah dan selalu akan berpihak kepada kebaikan dan kebenaran.
    6.      Santosa : selalu beraa dijalan yang benar, tidak pernah berhenti untuk berbuat yang benar antara lain : melakukan samadi. Selalu waspada untuk menghindari perbuatan jahat.
    7.      Gembira : bukan berarti senang karena bisa melaksanakan kehendak atau napsunya, tetapi merasa tentram melupakan kekecewaan dari pada kesalahan-kesalahan dari kerugian yang terjadi pada masa lalu.
    8.      Rahayu : kehendak untuk selalu berbuat baik demi kepentingan semua pihak.
    9.      Wilujengan : menjaga kesehatan, kalau sakit diobati.
    10.  Marsudi kawruh : selalu mencari dan mempelajari ilmu yang benar.
    11.  Samadi.
    12.  Ngurang-ngurangi: dengan antara lain makan pada waktu sudah lapar, makan tidak perlu banyak dan tidak harus memilih makanan yang enak-enak: minum secukupnya pada waktu sudah haus dan tidak perlu harus memilih minuman yang lezat; tidur pada waktu sudah mengantuk dan tidak perlu harus tidur dikasur yang tebal dan nyaman; tidak boleh terlalu sering bercinta dan itu pun hanya boleh dilakukan dengan pasangannya yang sah.
     Pertemuan dengan Dewa Suksma Ruci
    Sesudah Bima mebunuh ular dengan menggunakan kuku Pancanaka, Bima bertemu dengan Dewa kecil yaitu Dewa Suksma Ruci yang rupanya persis seperti dia. Bima memasuki raga Dewa Suksma Ruci melalui telinganya yang sebelah kiri. Didalam, Bima bisa melihat dengan jelas seluruh jagad dan juga melihat dewa kecil tersebut.
    Pelajaran spiritual dari pertemuan ini adalah :
    Bima bermeditasi dengan benar, menutup kedua matanya, mengatur pernapasannya, memusatkan perhatiannya dengan cipta hening dan rasa hening.
     Kedatangan dari dewa Suksma Ruci adalah pertanda suci, diterimanya samadi Bima yaitu bersatunya kawula dan Gusti.
     Didalam paningal (pandangan didalam) Bima bisa melihat segalanya segalanya terbuka untuknya (Tinarbuka) jelas dan tidak ada rahasia lagi. Bima telah menerima pelajaran terpenting dalam hidupnya yaitu bahwa dalam dirinya yang terdalam, dia adalah satu dengan yang suci, tak terpisahkan. Dia telah mencapai kasunyatan sejati. Pengalaman ini dalam istilah spiritual disebut “mati dalam hidup” dan juga disebut “hidup dalam mati”. Bima tidak pernah merasakan kebahagiaan seperti ini sebelumnya. Mula-mula di tidak mau pergi tetapi kemudian dia sadar bahwa dia harus tetap melaksanakan pekerjaan dan kewajibannya, ketemu keluarganya dan lain-lain.
     Arti simbolis pakaian dan perhiasan Bima
    Bima mengenakan pakaian dan perhiasan yang dipakai oleh orang yang telah mencapai kasunytan-kenyataan sejati. Gelang Candrakirana dikenakan pada lengan kiri dan kanannya. Candra artinya bulan, kirana artinya sinar. Bima yang sudah tinarbuka, sudah menguasai sinar suci yang terang yang terdapat didalam paningal.
     Batik poleng : kain batik yang mempunyai 2 warna yaitu Hitam Putih yang merupakan warna inti dari 4 warna yaitu; merah, hitam, kuning dan putih. Yang merupakan simbol nafsu, amarah, alumah, supiah dan mutmainah. Disini menggambarkan bahwa Bima sudah mampu untuk mengendalikan nafsunya.
     Tusuk konde besar dari kayu asem
    Kata asem menunjukkan sengsem artinya tertarik, Bima hanya tertarik kepada laku untuk kesempurnaan hidup, dia tidak tertarik kepada kekeyaan duniawi.
     Tanda emas diantara mata.
    Artiya Bima melaksanakan samadinya secara teratur dan mantap.
     Kuku Pancanaka
    Bima mengepalkan tinjunya dari kedua tangannya.
    Melambangkan :
    1.      Dia telah memegang dengan kuat ilmu sejati.
    2.      Persatuan orang-orang yang bermoral baik adalah lebih kuat, dari persatuan orang-orang yang tidak bertanggung jawab, meskipun jumlah orang yang bermoral baik itu kalah banyak.
    Contohnya lima pandawa bisa mengalahkan seratus korawa. Kuku pancanaka menunjukkan magis dan wibawa seseorang yang telah mencapai ilmu sejati.

    Perhatian: membacanya pelan-pelan saja ya, biar meresap ke sanubarimu

    Wacana Hari Raya Kuningan

    VACANADHARMA
    MAKNA HARI RAYA GALUNGAN DAN KUNINGAN
    HUBUNGANNYA DENGAN PENINGKATAN KESADARAN SPIRITUAL

    Oleh; Romo Poniman
    Di Berikan Kepada Umat Sedharma dalam Memberikan Vacanadharma pada Hari Kuningan

    Om apsudewa pawitrani, ganga dewi namo stute
    Sarwa klesa winasanam, toyenam parisuddhyate         
    Sarwa papa winasini, sarwa roga wimocane
    Sarwa klesa winasanam, sarwa bhoga awapnuyat
    Om sri sa pa hut kare, roga dosa winasanam
    Siva logam ma ha yas te, mantre manah papa ke lah.
    Sindyan trisandhya sapala, sakala mala malahar,
    Siwamrta mangalan sa, nandinimdam namah Siwaya

    Om dewa air/Gangga pemberi kesucian, sujud pada-Mu, engkau pembasmi segala kekotoran, dengan air sucimu engkau meyucikan-Nya.
    Engkaulah yang menghancurkan semua kejahatan dan yang membebaskan dari semua penderitaan serta menghancurkan semua kotoran, karenamulah memperoleh semua yang perlu dinikmati
    Om, engkaulah yang menjadikan semua perbuatan benar, menghancurkan semua dosa dan penderitaan, engkau yang dipuja dengan kebesaran di dunia Siva, engkau yang mejiwai mantra, kekuatan-Mu yang luar biasa baik subuh, siang dan senja hari
    Engkaulah Amrtanya Siva, tanda kebajikan, engkau adalah sungai yang memberi segala permohonan, semua sujud pada-Mu ya Siwa.

    Om Swastyastu,
    Kepada yang telah suci para Pemangku dan Pinandhita yang senantyasa berbahagia,
    Salam hormat kepada para sesepuh dan pinisepuh agama di wewengkon desa…..,
    Kepada Bapak, Ibu, Saudara, Saudari serta adek-adek yang kami mulyakan,
     salam mesra dengan penuh kasih dan sayang dalam lingkaran Dharma

    Pada kesempatan yang berbahagia ini tidak lupa saya ucapkan terimakasih kepada panitia pelaksanaan perayaan hari raya Kuningan  ….. yang telah memberikan waktu dan tempat guna menyampaikan siraman rohani kepada umat sedharma yang berbahagia

    Vaksayaka vadanannispati
    Yairahatah socati ratryahani
    Parasya va marmasu te patanti
    Tasmaddhiro navasjret paresu
                                   Sarasamuscaya. 120

    Terjemahan;
    Perkataan yang bermaksud jahat tidak beda dengan anak panah, yang dilepaskan, setiap yang ditembusnya merasa sakit, perkataan itu meresap ke dalam hati, sehingga menyebabkan tidak bisa makan dan tidur pada siang dan malam hari, oleh sebab itu tidak diucapkan perkataan itu oleh orang yang budiman dan wiraperkasa pun oleh orang yang tetap suci hatinya.

    Na tahyavacanam satyam
    Natahyavacana marsa
    Yad bhutahitamatyartham
    Tat satyamitaramrsa
                                                        Sarasamuscaya.. 134

    Terjemahan;
    Pada hakikatnya bukan perkataan yang tidak benar itu bohong namanya, dan bukan perkataan yang benar itu disebut kebenaran, melainkan sesungguhnya, biarpun bohong kata-kata itu selalu menimbulkan kebaikan saja, membuat akibat yang menyenangkan kepada semua mahkluk hidup, itulah disebut kebenaran; meskipun sesuai dengan apa yang terjadi jika tidak mendatangkan akibat yang menyenangkan kepada semua mahkluk hidup, dusta disebut itu.

    Dharma macarato vrttiryadi
    Nopagamisyati, na nama
    Kin silonchambu
    Sakadyapi vipatsyate
                                                    Sarasamuscaya.  51

    Terjemahan;
    Orang yang tekun melaksanakan Dharma, tidak  akan kesulitan mendapatkan penghidupan, mustahilah tidak memperoleh makanan, sayur-sayuran dan air, segala sesuatunya itu mudah diperolehnya, yang seakan-akan menawarkan diri untuk menjadi santapan beliau


    Love is indeed a most powerful force. It can take us to great beights as and love us light and airly. Yet it has been the most abused and misused force. Many degraded things pass for love. Diantara semua kekuatan spiritual, cinta kasih adalah kekuatan yang paling agung. Cinta kasih yang agung ini bisa membawa kita terbang tinggi, menyentuh langit, menjadi ringan dan bebas. Tetapi cinta kasih disalah tafsirkan, ia menjadi kuasa yang jelek dan disalahgunakan. Banyak peristiwa terkutuk atas nama cinta kasih.

    Pendahuluan;

    Umat Hindu sedharma yang saya kasihi,
    Perayan agama demi perayaan selalu kita ikuti dan dirayakan dengan seksama oleh umat Hindu sedharma dalam keadaan yang serba meriah namu tetap penuh kesederhanaan, akan tetapi semakin tinggi tingkat pemahaman keagamaan maka semakin tinggi pula tingkat kreatifitas didalam merangkai dan menghias perayaan agama dengan berbagai hiasan yang penuh symbol. Perayaan agama yang semakin hari semakin semarak jika tidak diimbangangi akan hakikat dan pendalaman makna, maka akan semakin terkaburkan atas tujuan suatu hari raya agama itu diadakan. Hari-hari suci keagamaan yang senantyasa dirayakan sudah tentu mengandung makna dan tujuan yang terkandung didalamnya, sehingga tujuan diciptakannya suatu ajaran kesucian yang tertuang dalam kitab suci akan dapat terrealisasi didalam kehidupan berbangsa, bermasyarakat dan berkeluarga bahkan dalam diri sendiri akan tercipta suatu keadaan yang sangat berbahagia, namun jika makna yang terkandung didalam perayaan keagamaan tidak dipahami, maka hari yang seharusnya disucikan akan menjadi momok yang menakutkan jika hari suci itu datang menghadang dan bahkan akan lari atau berpaling serta mengacuhkannya sehingga terasa tiada bedanya hari raya dengan hari-hari biasa. Pemahaman akan arti penting  suatu hari suci keagamaan yang kurang berdampak sangat negative didalam menjalankan kehidupan keagamaan itu sendiri sehingga tak ayal suatu hari suci akan menjadi perdebatan bahkan kalau bisa dimusnahkan karena dirasakan menjadi beban didalam menjalankan kehidupan ini, akan tetapi bagi yang memahami arti penting perayaan hari-hari suci bisa memetik hikmah sehingga menimbulkan suatu kebahagiaan yang tidak bisa dinilai oleh apapun. Seperti halnya pada topic pembicaraan kali ini dalam rangka perayaan Galungan Kuningan serta Hubungannya dengan peningkatan Kesadaran Spiritual yang sudah tentu sangat membutuhkan pemikiran yang mendalam bagi yang belum memahaminya, akan tetapi setelah mendengarkan serta memahami topic permasalahan ini diharapkan umat Hindu Sedharma mendapatkan sesuatu pencerahan didalam menjalankan kehidupan keagamaan. Untuk memahami topik ini para umat sedharma diharapkan mempelajarinya dari tahap demit aha dengan seksama sehingga diperoleh kejelasan secara mendalam.

    Perlu diketahui bahwa pelaksanaan Hari raya Kuningan dimulai dari redite Wage” ialah hari angulihaken prikramaning pratekaning Kuningan”, dengan filsafatnya; mengenang jasa-jasa leluhur kita yang telah mendahului kita, etikanya; melanjutkan langkah-langkah perjuangan yang baik, tetapi langkah-langkahnya yang buruk kita buang, jangan ditiru, upacaranya; canang seadanya sesuai kemampuan. Pada Sukra Wage Kuningan ialah hari untuk mempersiapkan upakara Kuningan yang disebut dengan ‘Penampahan Kuningan’. Tepat pada Tumpek Kuningan/ Saniscara Kliwon Kuningan atau “hari Raya Kuningan” hari turunnya Dewa-dewi, Bhatara-bhatari diiringi oleh para Pitara /leluhur sampai tengah hari (jam 12.00 siang) sesuai dengan Sugi Manik Jawa atau Sugihan Jawa. Filosofisnya; dari Tumpek Kuningan adalah untuk nyapuhing malaning idep (membersihkan cara berpikir yang kotor), dengan cara konsentrasi, meditasi, demi kepentingan kesejahteraan umat. Tatasusilanya; melakukan pemujaan atau persembahyangan jangan sampai lewat jam 12.00 siang. Upacaranya; ring natar rumah segeh agung, terhadap manusianya ngayab sesayut prayascitta luwih, sesayut segahan Kuning, iwak itik putih dan penyeneng.
    Redite Wage Kuningan, Ulihan atau oleh-oleh (untuk) kembalinya Dewa dan Pitara dengan disuguhkan oleh-oleh beruparempah-rempah, beras dsbnya sampai pada sukra Wage Kuningan (penampahan Kuningan), persiapan untuk menghadapi Kuningan dengan melenyapkan kotoran pikiran. Pada saniscara Kliwon memasang tamiang sebagai symbol kemenangan Dharma melawan adharma dan menghaturkan nasi Kuning sebagai symbol Bhakti lawan asih.

    Tattwa mengenai Hari Raya Kuningan;
     Sumber ajaranya terdapat dalam lontar dan prasasti;
    Lontar Siwa Tattwa Purana” menyebutkan bahwa pada hari Wage wuku Kuningan hendaknya membuat banten sambutan selanjutnya pada hari Senin Kliwon disebut sebagai hari Pemacekan Agung yaitu pertemuan antara Sanghyang Siwa dengan Sanghyang Giriputri. Pada hari sabtu Kuningan turunlah Bhatari Uma/Durga mencari saniscara dan Bhatara Siwa menjadi Kliwon. Pada hari saniscara Kliwon hendaknya umat membuat nasi Kuning untuk dihaturkan bagi leluhurnya dan dilarang melakukan upacara manusia yadnya ( karena Bhatara Siwa sedang Berkasih asmara dengan dewi Uma dan disaat itu dewi Uma sedang menjaga ketiga Dunia? Sehingga umat dimohon untuk melakukan pemujaan agar mendapatkan anugerah kesejahteraan/tidak boleh memada-madai dewa/ngembari yang sedang melakukan penciptaan kebahagiaan dan jika umat melakukan upacara manusia yadnya dikhawatirkan terkena kutukan Bhatara sehingga tidak mendapatkan kerahayuan tetapi petaka yang dirasakan-hal ini berlaku juga bagi setiap pelaksanaan hari-hari raya Hindu yang lain agar jangan melaksanakan upacara manusia yadnya yang bertepatan dengan hari raya Hindu akan buruk jadinya).

    Nilai Moral Pelaksanaan Hari Raya Kuningan

    Hari raya Kuningan tidak terlepas dengan hari raya Galungan yang jatuh tepat pada Buddha Kliwon Wuku Dunggulan karena keduanya merupakan satu paket. Sedangkan runtutan  pelaksanaan Hari Raya Galungan dan Kuningan sebenarnya dimulai semenjak Tumpek Wariga yang jatuh pada Saniscara Kliwon Wuku Wariga dan berakhir pada Buddha Kliwon Wuku Pahang. Nilai moral yang bisa dipetik pada pelaksanaan hari raya Galungan adalah untuk mengingatkan mereka agar bisa hidup bahagia dan sejahtera. Mengapa diingatkan/ karena sebenarnya manusia itu sering lupa sehingga dengan jatuhnya perayaan Galungan akan teringatkan atas segala yang pernah dilakukan sebelumnya, dengan demikian akan menjadi bahan evaluasi pada tahapan kehidupan selanjutnya karena sesungguhnya tidak ada suatu keadaan itu yang langgeng. Jika keadaan sebelumnya kehidupan kita kacau maka dengan datangnya perayaan Galungan semoga mendapatkan inspirasi atas instropeksi diri kepada kehidupan yang lebih sempurna.

    Saudara umat Hindu sedharma yang berbahagia,
    Yang perlu diingtakan pada hari raya Galungan adalah untuk terus menerus berjuang untuk memenangkan nilai moral (Dharma) dalam kehidupan ini, karena jika nilai moral Dharma tidak tegak maka Adharma akan menguasai hidup ini sehingga derita sengsaralah kita karena tiada tertatanya tatanan kehidupan yang harmonis. Oleh karena itu untuk memperoleh keadaan itu, maka tahapan-tahapan sebelum Galungan perlu dilaksanakan seperti saat Tumpek Wariga memberikan penghormatan pada Tumbuh-tumbuhan agar lestari dan dapat dimanfaatkan pada saat upacara Galungan. Sugihan Jawa yaitu agar senantiasa membersihkan segala keperluan lahir seperti membersihkan Pura, Merajan, Sanggah maupun menjaga keselamatan diri menghadapi Galungan dan pada Sugihan Bali agar senantiyasa menjaga kesucian batin yaitu menyiapkan mental spiritual guna menghadapi sang Kala Tiga Galungan dan pada Redite Paing melakukan Brata dengan pengekeban atau pengekangan hawa nafsu guna menahan diri terhadap segala Emosi yang akan muncul atau selalu menjaga ketenangan diri sedangkan pada Soma Pon melakukan penyajaan atau melakukan brata sungguh-sungguh dan sebagainnya dengan tetap menahan nafsu lalu diteruskan pada Anggara Wage dengan penampahan melawan puncaknya Godaan Sang Kala Tiga yang disimbolkan dengan melakukan pemotongan hewan yang disimbolkan pada hewan babi yaitu symbol kemalasan atau sifat-sifat Tamas yang sangat merugikan dan memotong ayam sebagai symbol sifat Rajas yang sangat menganggu dalam kehidupan jika tidak dikendalikan sehingga disaat Buddha Kliwon benar-benar merupakan suatu hari yang sangat istimewa karena sudah mampu melalui tahapan-tahapan Galungan yang selanjutnya dirayakan sebagai hari kemenangan Dharma melawan Adharma. Bagaimana bagi mereka yang tidak dapat melakukan tahapan-tahapan Galungan? Maka mereka tidak akan merasakan bahagia disaat hari raya, tetapi terasa hambar dan biasa-biasa saja sehingga tidak akan mengalami perobahan kehidupan yang berarti setelah perayaan Galungan dilalui.

    Dasar-dasar Pelaksanaan Hari Raya Galungan dan Kuningan

    Kamatmanah svarga-para
    Janma-karma-phala-pradam
    Kriya-visesa-bahulam
    Bhogaisvarya-gatim prati
                                Bhagavadgita. II-43

            Terjemahan;
    Mereka yang pikirannya penuh dengan keinginan akan kesenangan, dengan sorga sebagai tujuan, inkarnasi sebagai karma phalanya; melakukan upacara-upacara yang beraneka ragam dan banyak itu, dapat menghantar kearah kebahagiaan dan kekuasaan.

    Saha-yajnah prajah srstva
    Purovaca prajapatih
    Anena prasavisyadhvam
    Esa vo’stv ista-kama-dhuk
                              Bhagavadgita. III-10

    Terjemahan;
    Sesungguhnya sejak dahulu telah dikatakan, Tuhan/Prajapati telah menciptakan manusia melalui yajna dan berkata anena prasavisyadhvam/ dengan ini engkau mengembang sebagai sapi kamadhuk yang memenuhi keinginannmu.

    Istan bhogan hi vo deva
    Dasyante yajna-bhavitah
    Tair dattan apradayaibhyo
    Yo bhunkte stena eva sah
                                                     Bhagavadgita. III-12


    Terjemahan;
    Sesungguhnya keinginan untuk mendapatkan kesenangan telah diberikan kepadamu oleh para dewa karena yajnamu, sedangkan ia yang telah memperoleh kesenangan tanpa memberi yajna sesungguhnya adalah pencuri.

    Dasar pelaksanaan Galungan dan Kuningan adalah Catur Dresta; 1) Purwa Dresta/Kuno Dresta yaitu Dresta-dresta atau aturan yang sudah berlaku lama atau kebiasaan lama bagi masyarakat Bali dan jawa yang sering memakai perhitungan Wariga, Pawukon, Sasih, Penanggal Purnama dan Tilem. 2) Loka Dresta yaitu kebiasaan yang bersifat Lokal yang berlaku disuatu tempat saja. 3) Desa Drestha adalah kebiasaan yang berlaku disuatu daerah saja atau Desa. 4) Sastra Dresta yaitu kebiasaan yang berlaku berdasarkan sastra, baik itu Lontar (Sundarigama dalam penjelasan tentang Galungan), Purana maupun Itihasa yang kesemuanya tidak bertentangan dengan Weda dan Tujuan Agama itu sendiri.

    Sastra
    Lontar Sundarigama menyebutkan bahwa pada Buddha Kliwon Dunggulan adalah hari untuk memusatkan pikiran terang dan suci disertai dengan menghaturkan persembahan kepada para dewa seperti kutipan berikut ini; Buddha Kliwon Dunggulan ngaran patitis ikang jnana galang apadang, haturaken widhi widhana nia ring sarwa dewa) cirikhas upacaranya adalah membuat tumpeng/selamatan kenduri dan kalu di Bali membuat tumpeng payas, wangi-wangi, sesucen munggah ring Sanggar, tumpeng pengambean, jerimpen, pajegan, sodan dan sebagainya seperti iwak serta daging babi. Sedangkan pada hari Raya Kuningan dengan membuat tumpeng Kuning atau nasi kuning serta lauk pauknya.


    Hubungan Perayaan Hari Raya Galungan dan Kuningan dengan Peningkatan Kesadaran Spiritual

    Seperti diuraikan diatas tentang hari raya Galungan dan Kuningan yang memiliki berbagai Tahapan-tahapan dengan maksud dan tujuannya, maka bagaimana kaitannya suatu pelaksanaan hari raya dengan peningkatan kesadaran spiritual? Untuk menjawab pertanyaan itu perlu dipahami satu persatu sehingga akan didapatkan jawaban yang seoptimal mungkin bisa dipahami oleh umat.
    Peningkatan yaitu suatu keadaan yang lebih tinggi atau berbeda dari keadaan sebelumnya. Apa yang lebih tinggi yaitu pemahaman tentang hakikat hidup dikaitkan dengan pelaksanaan serta arti dan fungsi suatu upacara keagamaan dalam hal ini adalah Galungan dan Kuningan yang bermakna memberikan pencerahan pikiran yaitu galang apadang atau terang benderang karena pengaruh Sangkala Tiga sudah dapat dihindari. Kesadaran adalah suatu bentuk kata yang lebih aktiv dari kata pasif yaitu Sadar. Kesadaran berarti peningkatan dari keadaan sadar bahwa setiap manusia yang sehat sudah tentu akan ada suatu keadaan sadar atau tahu, ingat dan melihat serta seluruh indranya bisa berfungsi akan tetapi belum bisa dikatakan memiliki kesadaran jika manusia itu tidak memiliki perilaku yang berbuddhi luhur. Untuk memiliki perilaku inilah diciptakan suatu ajaran keagamaan agar manusia menjadi manusia yang manusiawi karena telah memiliki kesadaran tentang hakikat hidup dan tujuan hidup sesungguhnya. Spiritual adalah kesadaran Jiwa yang tinggi sehingga siapa saja yang memiliki kesadaran spiritual dia akan menjadi manusia utama diantara manusia yang lain.
    Manfaat memiliki kesadaran spiritual yaitu agar tercapailah suatu keadaan hidup yang abadi seperti tujuan Agama Hindu ialah mencapai keadaan Brahma Nirwana. Bagaimana agar Brahma-Nirwana tercapai?
    Vihaya Kaman yah sarvan
    Pumams carati nihsprhah
    Nirmamo     nirahankarah
    Sa santim    adhigacchatti

    Vihaya-meninggalkan; Kaman-keinginan duniawi untuk kepuasan indria-indria; yah-siapa; sarvan-semua; puman-seseorang; carati-hidup; nihsprhah-bebas dari keinginan; nirmamah-bebas dari rasa memiliki sesuatu; nirahankarah-bebas dari keakuan palsu; sah-dia; santim-kedamaian yang sempurna; adhigacchatti-mencapai.
    Terjemahan;
    Hanya orang yang sudah meninggalkan segala jenis keinginan untuk kepuasan indria-indria, hidup bebas dari keinginan, sudah meninggalkan segala rasa ingin memiliki sesuatu dan bebas dari keakuan palsu dapat mencapai kedamaian sejati.

    Bhagavadgita. 2. 71


    Esa brahmi  sthitih partha
    Nainam prapya vimuhyati
    Sthitvasyam anta-kale ‘pi
    Brahma nirvanam rcchati

    Esa- ini; brahmi-rohani; sthitih-keadaan; partha-wahai putera prtha; na-tidak pernah; enam-ini; parapya-mencapai; vimuhyati-seseorang dibingungkan; sthitva-menjadi mantap; asyam-dalam ini; anta-kale-pada akhir hidup; api-juga; brahma nirvanam-tempat atau istana rohani Tuhan; rcchati-seseorang mencapai.

    Terjemahan;
    Itulah cara hidup yang suci dan rohani, sesudah mencapai kehidupan seperti itu, seseorang tidak dibinggungkan. Kalau seseorang mantap seperti itu bahkan pada saat kematian sekalipun, ia dapat masuk atau manunggal dengan Tuhan.

    Bhagavadgita. 2.72.

    Bebas dari keinginan berarti tidak menginginkan sesuatu untuk kepuasan indria-indria. Dengan kata lain, keinginan untuk menjadi sadar akan segala hakikat adalah karena kuasa Tuhan yang sesungguhnya berarti bebas dari keinginan. Mengerti keberadaan diri yang sesungguhya sebagai utusan Tuhan untuk menjelma sebagai manusia agar memperbaiki segala karmawasana yang masih melekat sehingga dituntut untuk mensucikannya dengan penyerahan atas segala kepemilikan secara total tanpa disertai kepura-puraan adalah sebagai bentuk tingkat kesadaran yang sempurna. Penyerahan atas segala kepemilikan dengan menganggap bahwa badan ini juga bukan miliknya, segala hasil kerja bukan miliknya serta hidup ini juga bukan miliknya dengan segala gerak dan prilaku baik pikiran, ucapan kerja dan bhakti semuanya ditujukan pada Tuhan akan membawa jiwa mencapai kesadaran yang sempurna dan bahkan sebelum mati dapat merasakan mukti terlebih saat ajal menjemput dengan disertai pikiran yang penuh kedamaian, kebahagiaan serta penyerahan bahwa jiwa juga bukan miliknya maka terjadilah kalepasan yang sempurna karena lepasnya roh tanpa melalui pemikiran yang rumit melainkan adanya landasan kesadaran penuh sehingga moksa akan mudah ditempatinya.
    Penyerahan atas hasil dari kegiatan badan seperti yang dilakukan oleh Arjuna saat bertempur melawan Kaurawa yaitu dengan melakukan kegiatan perang atas nama Krsna sebagai Awatara Wisnu yang merupakan perwujudan Tuhan maka Arjuna tidak merasakan gentar sedikitpun saat bertempur melainkan semata diserahkan semuanya kepada Tuhan sebagai wujud bhakti sebagai hampa yang memenuhi kewajiban hidup, Arjuna memperoleh kebebasan. Arjuna terbebas dari keinginan material atas hasil dari pertampuran yang dilakukannya karena ia bertempur demi kepuasan Sri Krsna yang menganjurkannya agar perang dilakukan disaat Arjuna mencapai puncak kesadarannya dengan bayangan bahwa pembunuhan itu suatu dosa terbesar terlebih membunuh para Guru dan saudaranya. Jika bias ditafsirkan disini bahwa yang dimaksud saudara itu bisa merupakan indria-indria serta nafsu-nafsu yang menyertai diri setiap saat sedangkan guru-guru adalah pikiran yang menjiwai indria-indria itu bahwa kesemuanya itu hendaknya dibunuh jika ingin menemui Tuhan, menyerahkan diri pada Tuhan dengan meninggalkan itu semuanya maka akan mencapai pada kesadaran sejati sehingga mendapatkan kebahagiaan yang sejati pula.
    Seseorang dapat mencapai kesadaran atau kehidupan yang suci dengan segera dengan satu detik – atau mungkin belum bisa mencapai pada keadaan itu walaupun sudah dilahirkan berjuta-juta kali. Hal itu hanyalah merupakan persoalan pada pengertian dan pengakuan terhadap kenyataan. Rshi Bhisma bisa mencapai keadaan itu dengan selalu berpegang teguh pada prinsip hidup dan diakhir hidupnya dia bisa menentukan segalanya tentang kapan dia harus melepaskan ruh atau atma walaupun nyawa meregang disaat terbunuh pada perang Bharata. Kekuatan pikiran Rhsi Bhisma sebagai contoh apabila manusia dibumi ini selalu memiliki prinsip dengan hidup yang sudah teratur dengan berbagai konsep Dharma, maka siapapun juga akan bisa mengendalikan hidupnya dengan menjadikan dirinya sebagai manusia seutuhnya sehingga disuatu saat akan di-apa-kan dirinya oleh ‘apa’, maka penganut spiritual murni akan siap menjalankan seperti  apa yang seharusnya ia lakukan. Siapapun juga akan bisa menjadi ‘apa’ seperti ‘apa’ yang oleh apa inginkan, tetapi semua itu membutuhkan dasar kemapanan spiritual. Orang yang mantap spiritualnya sudah tentu akan mendapatkan anugerah yang terbaik dan sesuai oleh keadaan atau kemampuan yang ada pada dirinya. Seperti sang Arjuna saat bertapa dipuncak gunung Kailasa yang bermaksud agar dapat memenangkan perang di medan Kuru, tanpa ia pikirkan sebelumnya tentang anugerah apa yang akan ia peroleh dalam tapa itu tetapi dewa Siva sangat memahaminya sehingga diberikanlah senjata berupa panah pasupati atau pasupata sebagai senjata pamungkas untuk mengalahkan para Kaurawa yang memiliki kesaktian luar biasa dengan disertai ribuan pengikutnya sedangkan Pandawa hanya berlima saudara. Anugerah yang diberikan oleh dewa Siva kepada Arjuna sudah patut atau sesuai dengan karakter atau kondisi si penerimanya karena Arjuna sendiri merupakan salah satu bagian dari kelima bersaudara yang memiliki keahlian memanah.  
    Menurut pandangan Filsafat Budha, bahwa sesudah kehidupan materiil ini berakhir, yang ada hanya kekosongan, tetapi Bhagavadgita memberikan pengertian yang lain daripada itu bahwa kehidupan sejati sesungguhnya dimulai saat kehidupan duniawi ini berakhir. Sebelum berakhir hidup ini kalau ada seseorang yang beruntung karena telah sadar dan menganggap Tuhan adalah tujuan utamanya bukan material yang sifatnya sementara maka ia akan segera mencapai dunia Tuhan atau tingkatan Brahma-nirvana. Disini apabila kesadaran akan bhakti dan karma hanya ditujukan pada Tuhan sesungguhnya tiada bedanya antara prilaku-prilaku spiritual dengan kebenaran Tuhan sendiri.
    Demikian juga dengan adanya wacana pemanasan global akan merusak kelestarian alam lingkungan manusia hidup, sesungguhnya bisa diantisipasi jika manusia didunia menyadari semuannya yang ada ini adalah milik Tuhan sehingga manusia tidak bisa atau segala tindakannya hendaknya dilakukan demi kebahagiaan bersama, tanpa adanya motif demi kepentingan pribadi tetapi segalannya dilakukan berlandaskan hati nurani sebagai manusia yang penuh perasaan bukan menonjolkan intelektualitas belaka tetapi spiritualitas sebagai dasar utama dalam hidup sehingga keserakahan, kebengisan, yang berlanjut pada pengrusakan lingkungan dapat dihindari dengan begitu bencana alam yang diakibatkan pemanasan global akan dapat dicegahnya. Untuk dapat mencapai keadaan seperti ini dibutuhkan pemahaman yang sangat komprehensip sebelum memahami spiritual. Pemahaman komprehensip dimaksudkan agar didalam pemikiran atas keadaan alam tidak terjadi gejolak sehingga kebijaksanaan serta kepuasan indria dapat teratasi, dengan terpuaskannya segala apa yang terdapat dalam pemikiran indria karena dilandasi pengetahuan yang luas, maka seseorang hendaknya meningkatkan pengetahuan pikirannya kepada tingkatan spiritual tingkat tinggi agar tercapai suatu kesadaran yang sejati. Kesadaran sejati bisa diperoleh jika seseorang menyerahkan segala kepemilikan yang ia miliki semata ditujukan kepada Tuhan dengan selalu bersikap sujud dan bhakti secara penuh baik dalam pikiran maupun tingkah laku, sehingga rasa ego atau kesombongan yang berdampak pada prilaku arogansi tiada tampak, segala tindakannya akan menyejukkan mata siapapun yang memandang. Keadaan seperti ini   membawa jiwa yang merupakan inti hidup seseorang  mencapai Brahma nirwana baik saat berbadan wadag maupun saat terlepasnya kedua wujud tersebut. Intelektual sebagai langkah pertama untuk menuju kesadaran murni sebab Veda sesungguhnya sangat takut kepada seseorang yang tidak memiliki intelek.

    Yam imam puspitam vacam
    Pravadanty      avipascitah
    Veda-vada-ratah      partha
    Nanyad       astiti   vadinah

    Kamatmanah svarga-para
    Janma-karma-phala-pradam
    Kriya  -   visesa  -  bahulam
    Bhogaisvarya - gatim    prati

    Terjemahan;
    Orang yang kekurangan pengetahuan sangat terikat pada kata-kata kiasan dari weda, yang menganjurkan berbagai kegiatan yang dimaksudkan untuk membuahkan pahala agar dapat naik tingkat sampai planet-planet surga, kelahiran yang baik sebagai hasilnya, kekuatan, dan sebagainya. Mereka menginginkan kepuasan indria-indria dan kehidupan yang mewah, sehingga mereka mengatakan bahwa tiada sesuatupun yang lebih tinggi dari ini, wahai putera Prtha.

    Bhagavadgita. 2. 42-43

    Masyarakat pada umumnya tidak memiliki kecerdasan yang lebih akan tetapi secara standar mereka banyak yang menjadi pemalas akibat kurang mampunya kecerdasan pikirannya, oleh karena itu mereka selalu terikat oleh kegiatan kegiatan yang dapat membuahkan hasil sebagai pemuas indria-indrianya sehingga dapat menikmati hidup didunia, sebagai symbol kenikmatan bagi mereka adalah wanita dan mencapai surga yang merupakan suatu tempat yang bisa memperoleh segalanya yang diinginkan. Dengan begitu mereka selalu melakukan berbagai ritual korban yang pada ujungnya menginginkan buah hasil atas upacara yang mereka lakukan.
    Selama badan jasmani masih ada, ada perbuatan-perbuatan dan reaksi reaksi dalam sifat material. Seseorang harus mempelajari toleransi dihadapan hal-hal yang relative seperti itu, ia dapat dibebaskan dari kecemasan mengenai untung rugi.

    Karma-jam buddhi-yukta hi
    Phalam  tyaktva  manisinah
    Janma-bandha-vinirmuktah
    Padam gacchanty anamayam

    Dengan menekuni bhakti kepada Tuhan seperti itu, resi-resi yang mulia dan penyembah-penyembah membebaskan diri dari hasil pekerjaan di dunia material. Dengan cara demikian mereka dibebaskan dari perputaran kelahiran dan kematian dan mencapai keadaan diluar segala kesengsaraan (Moksa).

    Bhagavadgita. 2. 51

    Orang yang dengan bhakti yang tulus akan mencapai pembebasan dan tinggal ditempat yang bebas dari kesengsaraan material. Keberadaan moksa tidak jauh dan tidak dekat, tetapi berada diantara perbuatan perbuatan yang mulia dengan kesadaran penuh kepada Tuhan sebagai sumber segalanya.
    Proses pengetahuan  memuncak dalam bhakti yang murni kepada Tuhan. Karena itu kalau seseorang tidak mendekati pengabdian rohani kepada Tuhan, maka sembilan belas unsur lainnya tidak berkembang dalam dirinya. Tetapi kalau seseorang mulai melakukan bhakti dalam kesadaran Tuhan dengan sepenuhnya, maka kesembilan belas unsur itu dengan sendirinya akan berkembang dalam dirinya. Prinsip berguru kepada guru kerohanian adalah syarat mutlak dan itulah yang paling penting, bahkan bagi orang yang mulai melakukan bhakti sekalipun. Kehidupan rohani dimulai ketika seseorang berguru kepada seorang guru kerohanian yang dapat dipercaya. Ini adalah pengetahuan yang sempurna bagi siapa saja yang ingin mencapai kesadaran murni sebab dengan mempercayai seorang guru kerohanian sebagai penuntun hidupnya dengan memandang sepenuhnya bahwa guru itu adalah titisan Dewa dan dengan selalu sujud dikaki guru, maka seorang murid kerohanian akan mendapatkan darsana secara langsung kepada jalan Tuhan.
    Sikap rendah hati sebagai dasar berperilaku bagi pelaku spiritual. Rendah hati berarti hendaknya seseorang  jangan berhasrat  supaya puas mendapat penghormatan dari orang lain. Paham keduniawian yang membuat orang terseret pada penghormatan palsu sehingga ada kecenderungan minta dihargai dirinya serta penghormatan yang tinggi dengan demikian terpuaskanlah. Setelah seseorang pengikut kerohanian yang dilandasi pemikiran badan itu mencapai keberhasilan maka selanjutnya ia memasuki suatu organisasi yang tidak mengikuti prinsip-prinsip Dharma selanjutnya memaklumkan dirinya sebagai guru kerohanian, ia sangat ingin menjadi terkenal sebagai guru kerohanian karena terjebak pada kenikmatan yang palsu dengan demikian akan menyeretnya kejurang kawah candradimukha yang sangat ganas dan menyeramkan dengan penuh siksaan luar biasa.
    Tidak melakukan kekerasan yang pada umumnya disama artikan sebagai Ahimsa atau tidak membunuh badan, tetapi sebenarnya tidak melakukan kekerasan berarti tidak menyebabkan mahkluk lain berdukacita. Pada umumnya orang terperangkap oleh kebodohan dalam paham hidup duniawi, dan mereka menderita sengsara selamanya. Karena itu kalau seseorang tidak mengangkat  orang lain sampai tingkat pengetahuan rohani, maka itu berarti bahwa dia melakukan kekerasan. Hendaknya seseorang berusaha sekuat tenaga untuk menyebarkan pengetahuan  yang sebenarnya kepada umat manusia agar terbebaskan dari kebodohan dan meninggalkan ikatan material ini.
    Sikap toleransi yaitu agar terlatih untuk tahan terhadap penghinaan dan ejekan dari orang lain. Kalau seseorang tekun dalam kegiatan spiritual, maka dia akan mengalami berbagai kemajuan, kemajuan bukan berarti tidak mengalami godaan, justru dengan tingginya tingkat spiritual, karena sudah bisa membebaskan diri dari godaan-godaan seperti penghinaan atau cemooh dari para pengikut materialis karena alam materialis disusun demikian yang penuh penilaian baik-buruk sedangkan alam spiritual terbebaska dari dualisme nilai baik buruk yang ada adalah kebenaran sejati bahwa segalanya baik atau buruk adalah kuasa Tuhan semata. Dengan pandangan toleransi tinggi sepatutnya peribahasa ‘anjing mengonggong kapilah berlalu’ sangat tepat dipakai sebagai pedoman penganut spiritual sehingga akan selalu mantap dan terus berjalan dijalan Dharma.
      Kesederhanaan berarti hendaknya seseorang bebas dari siasat atau politik, selalu terus terang hingga dapat mengungkapkan kebenaran yang sejati. Berguru kepada guru kerohanian dengan mendekati selalu guru dan melayaninya dengan sikap rendah hati dengan berbagai cara agar guru berkenan menganugerahkan berkat karunia kepada muridnya adalah syarat utama dalam menapaki jalan spiritual, sehingga lambat laun akan segera mendapatkan kesadaran penuh. Walaupun murid itu belum mengikuti prinsip-prinsip yang menjadi aturan seharusnya. Berserah diri kepada guru tanpa memandang baik buruknya seorang guru atau perintah apa yang diperintahkan seperti sang Bima disaat mencari Tirtha Kamandalu sebagai tirtha kehidupan, ia diperintahkan oleh Guru Drona agar memasuki lautan, padahal Guru Drona tahu bahwa Bima tidak bisa berenang, maka Bima sebagai murid yang taat pada bhakti, ia melakukan perintah gurunya, walaupun nyawa taruhannya demi kesejahteraan dunia. Dan setelah tenggelam didasar samudera yang ia dapatkan adalah bertemu dengan Dewa Baruna dan terselamatkanlah Bima serta dapat membawa Tirtha Kamadalu yang dimaksudkan.
    Kebersihan atau kesucian sebagai syarat mutlak yang harus dilakukan untuk mencapai kemajuan dalam kehidupan spiritual. Kebersihan badan dengan mandi, sedangkan kebersihan rohani dengan melakukan tapa, japa, bhrata dan yogasamadi serta selalu berpikiran pada Tuhan.
    Ketabahan atau pengendalian diri adalah hal yang sangat diperlukan dalam menjalani kehidupan kerohanian agar tercapai suatu keberhasilan yang sempurna. Ketabahan hati tiada batasnya, jika dibatasi, maka tingkat kesabarannya masih rendah dan akan menghambat pada kemajuan spiritual.
    Mendalami dan berusaha mengerti hakikat suka, duka, kelahiran - kematian, usia tua, masa anak-anak, dan penyakit orang harus memahami dengan mendalam bahwa kelahiran penuh kesengsaraan dari dalam kandungan ibu sampai terlahirkan kedunia yang berulang-ulang menggambarkan betapa besarnya penderitaan yang dialami oleh manusia.
    Kesadaran spiritual dengan jalan melaksanakan bhakti-yoga seperti disaat perayaan Galungan dan Kuningan sebagai langkah yang bisa dilakukan dialam modern ini dengan menyadari hakikat roh individu dan roh utama sebagai awal dari segalanya. Dengan sikap rendah hati dan selalu sujud dikaki guru kerohanian akan menghantarkan seseorang mencapai tingkat kesadaran tinggi, sehingga terbebaskan jiwa dari belenggu badan serta terhapusnya Karmawasana, maka kelak bagi murid yang sadar akan selalu menganggap bahwa dirinya bagian dari Tuhan, bukan menganggap dirinya adalah Tuhan yang merupakan kesombongan tingkat Tinggi, dengan demikian pencapaian kesadaran spiritual akan mengantarkan Jiwa kepada kalepasan sehingga saat terpisahnya jiwa dan badan akan tercapai tujuan utama sang Atma yaitu manunggal dengan asalnya dan tidak terlahirkan kembali mencapai Brahma-Nirvana yang merupakan alam keabadian Suka tanpa wali dhuka (Moksa).


    Kesimpulan;
    1. Tattwa mengenai Galungan dan Kuningan terdapat dalam Lontar Sundarigama
    2. Pelaksanaan hari Raya Kuningan tidak terlepas dari rangkaian Galungan yang merupakan satu paket.
    3. Rangkaian pelaksanaan Galungan dan Kuningan dimulai dari Tumpek Wariga sampai berakhir pada Buddha Kliwon wuku Pahang.
    4. Dasar-dasar Pelaksanaan Galungan mengacu pada Weda dan Lontar serta catur Dresta.
    5. Makna Perayaan Galungan dan Kuningan untuk meningkatkan kecerdasan pikiran yang sudah tercerahkan akibat terhindar dari pengaruh Sang Kala Tiga dengan melalui tahapan-tahapan yang diperlukan.
    6. Hubungan Perayaan Galungan dan kuningan dengan Peningkatan Kesadaran Spiritual sangat berarti mengingat semakin Tahu dan mengikuti segala rangkaian Upacara perayaan Galungan dan Kuningan dengan memahami Makna dan Tujuannya akan membentuk watak dan perilaku manusia yang lebih manusiawi karena semakin sering manusia itu diingatkan oleh adanya hari raya makan semakin lebih waspada dan memahami hakikat hidup sesungguhnya.
    7. Tujuan peningkatan kesadaran Spiritual seperti pesan yang disampaikan dalam Perayaan Galungan adalah demi tercapainya tujuan utama manusia diadakan yaitu manunggal dengan Tuhan atau mencapai Brahma-Nirvana.


    Penutup dan Pesan

    Umat Hindu sedharma yang sangat terkasihi, pada akhir pembicaraan ini semoga dengan adanya pertemuan yang sangat berbahagia ini kita semua selalu mendapatkan bimbingan serta petunjuk jalan yang lebih sempurna, jika ada tutur kata yang kurang sempurna semoga Hyang Widhi memberikan anugerah kesempurnaan karena baik dan buruk semua demi umat dan Hyang Widhi-lah Yang Maha Bijaksana, semoga semua berbahagia.

    Om brahma visnu isvara devam
    Jivatmanam trilokanam
    Sarva jagat pratisthanam
    Suddha klesa vinasanam
    Om, guru padhuka dipata ya namah.

    Ya Tuhan sebagai Brahma, Wisnu, Iswara yang berkenan turun menjiwai isi triloka, semoga seluruh jagad tersucikan bersih serta segala noda terhapuskan oleh-Mu, ya Tuhan sebagai Bapak alam, hamba memuja-Mu.


    Pesan;
    Saudara umat Hindu Sedharma yang berbahagia, yang perlu dipahami agar mampu meningkatkan diri dalam kehidupan spiritual adalah perlu memahami dasar-dasar spiritual itu.
    Oleh karena itu berikut terdapat dasar-dasar spiritual yang perlu dipahami oleh umat sedharma agar memperoleh keberhasilan adalah;
    1.  Hendaknya memperkuat rasa ke-Tuhan-an dalam diri dengan tetap mantap dengan penuh kebahagiaan selalu dan mengingat kematian datangnya tidak dapat diduga, berperilaku selalu eling lan waspada atau selalu ingat tujuan hidup sesungguhnya.
    2. Gemar membaca buku-buku suci dan mendengarkan petunjuk-petunjuk alam dengan penuh kesadaran.
    3. Menyadari diri tidak bisa hidup sendirian oleh karena agar selalu menjalin kerjasama dengan sesama manusia dan lingkungan disertai sikap ramah dan penuh persahabatan serta kasih sayang.
    4. Mengembangkan sikap tenggang rasa, menjiwai segala sesuatunya bahwa dengan memelihara watak dan sifat yang dimiliki manusia itu berbeda-beda, sehingga tidak ada pemaksaan kehendak untuk menyeragamkan keinginan pribadi tetapi dalam keragaman tetap bersatu.
    5. Selalu bersikap adil seperti  sifat Matahari, sekali bersinar maka segalanya akan mendapatkan cahaya tanpa membedakan warna tumbuhan, jenis manusia, dan benda yang lainnya, semua terkena cahayanya.

    Om Santi-santi-santi Om

                                                                               Banyuwangi, Sukra 15 Juli 2011


                                                                                         Romo Poniman
    NB;
    1. 1.      Semoga sepercik pemikiran ini dapat memberikan inpirasi bagi umat Sedharma dimanapun berada jika inging memberikan pencerahan seputar perayaan Galungan dan Kuningan.
    2. 2.      Selamat berdharmawacana, semoga wacana dharma akan menumbuhkan sikap yang penuh damai dan batin yang bahagia.
    3. 3.      Salam buat umat Se-Dharma dimanapun Berada.